Langit senja hampir kehilangan cahayanya. Jika saja wajah mentari telah benar-benar tenggelam, niscaya para muadzin akan menyuarakan adzan magrib. Ufuk yang tampak keriput dalam nuansa warna lembayung, seolah menitahkan hiruk pikuk hari agar berlalu, lantas memberi izin kepada malam untuk menyajikan keramaiannya sendiri … keramaian yang bertumpu pada lampu-lampu jalanan yang mulai menyala.
Ketika langit semakin gelap, cahaya kecil dari pelita-pelita di dalam misykat cukup mampu memudarkan gelap di sekelilingku. Aku masih saja membisu. Duduk dengan kedua tangan di atas meja. Mataku menatap lurus ke arah seorang lelaki tua yang duduk bersila di salah satu sudut di sana. Lelaki tua itu terlihat begitu menikmati rokok yang diisapnya. Warna asapnya tampak kelabu di bawah cahaya lampu. Lelatu-lelatu api berloncatan seperti kunang-kunang yang merah.
Aku mereguk kopi dari cangkir di tanganku tanpa melepaskan pandangan dari asap kelabu yang diembuskan lelaki tua itu. “Seharusnya kopi ini kuminum bersama isapan rokok,” pikirku. “Tapi aku masih cukup pintar untuk tidak berbuat bodoh. Aku masih cukup kuat untuk tidak menjadi benar-benar lemah.”
Beberapa detik berlalu. Aku berkeinginan untuk membaca lagi tulisanmu. Tulisan tanganmu pada secarik kertas yang kutemukan di ruangmu, di bawah tumpukan buku-bukumu yang berdebu. Aku merogoh kantung bajuku, mengeluarkan kertasmu, lalu meletakkannya di atas meja dan membacanya:
Kurasa detik masih berdetak saat buanaku mengkerut menjadi daun. Dan dari seratus dua puluh enam lembaran kertas, terdapatlah seratus sepuluh macam tuangan perasaan … yakni, kisah-kisah perjalanan yang dilembagakan dalam kata-kata.
Melintasi batas-batas hari, tersebutlah lima tahun perjalanan mencoret kata, menempuh masa terbilang lima puluh enam bulan. Lelah yang kuhela melahirkan coretan hati sekadarnya … mengejawantah “Sekadar Coretan Hati” …
Aku mengangkat dagu dan memutarkan pandanganku. Lelaki tua itu sudah menghilang, tapi angin masih mengantarkan aroma tembakaunya ke hidungku. Aku memandang ke tempatnya tadi bersila … menerawang kosong sambil bergumam, “Harus kucari lembaran-lembaranmu itu. Harus kutemukan! Sekadar mengindra bekas-bekas isi hatimu. Sekadar mengingat-ingat pribadimu yang didewasakan perjalanan tahun.”
Bandung, 12 Juli 2010
–HENDRA WIBAWA IBN TATO WANGSA WIDJAJA—
bentar.. itu yang di gambar bang hend bukan?yang dipegang paan?
baiklah …
iya, itu saya … sengaja berpose untuk tulisan ini … he he he …*saya memegang roko-rokoan -pensil pendek- biar kayak rokok … qeqeqe …
kirain.. rokok beneran..udah mau ngamukhahaha
ha ha ha …*”mengamuk” karena kebenaran tidak boleh dilawan …
kok aku baru baca tulisan paman ini yah??huaaaaaaaa..ketinggalaaaaaaaaaaann :((
inilah kang hendra, sang pengelana. xixixi…
Kok, mamang baru baca komenmu ini, ya?huaaaaaaaa … enggak ada pemberitahuan … he he he …
pengelana di dunia mp … he he he …*xixixi …
Oh, begitu ceritanya..^^
iya, Mahia … he he he …
hohoho…tak slah menilai daku orang ini emang banyak ilmunya ^_^” nunduk nunduk dalemmmm….
wah, Pandu … he he he …semoga Allah menutupi aib-aibku … amin …