Semenjak jarak menghambat suaramu sampai ke telingaku, aku membuka lagi semua catatan yang dulu kutulis di depan nasihat-nasihatmu. Masih kuingat saat tanganku menorehkan pena mengejar kata-katamu, seakan tanganku begitu berhasrat terhadap setiap huruf yang kau ucapkan di majelismu … huruf-huruf yang jika hilang akan mengaburkan pengertian-pengertian …
Dan terkadang, aku tak peduli dengan renjis ludahmu yang mengenai wajah dan kertasku …
Yusya’ bin Nun … demikianlah nama yang kau sebutkan saat membaca riwayat tentang lelaki itu … lelaki mulia yang mengiringi Musa menemui Khidir di tempat bertemunya dua lautan, lelaki mulia yang menjadi nabi setelah Musa dan membawa kaumnya keluar dari padang pasir hingga memasuki Bait al-Maqdis …
Kau pun membacakan lagi beberapa riwayat tentang kisah mereka … tentang bekal perjalanan mereka, tentang ikan mati yang mendapati jalannya ke laut, juga tentang duduknya Khidir di atas farwah putih yang bergerak-gerak hijau di belakangnya. Adapun Musa, dia terhalang oleh takdirnya sejauh jarak lemparan batu dari tanah al-Muqaddasah, lalu jasadnya dikubur di samping bukit pasir yang merah, di luar tanah suci itu …
Ah, matahari hari ini hampir terbenam … dan itu menyadarkanku akan sisa usiaku yang semakin pendek. Namun masih kuingat kisah itu … kisah yang kau bacakan tentang terhentinya matahari dalam perjalanan menuju terbenamnya atas permintaan Yusya’ bin Nun kepada Rabb al-A’la …
Kini, aku mengarahkan langkahku menuju masjid mengiringi senja yang berjalan … sedang matahari di kaki langit itu sedang tenggelam di antara dua tanduk setan yang diagungkan oleh kaum yang kafir …
Bandung, 22 Januari 2011
–HENDRA WIBAWA IBN TATO WANGSA WIDJAJA—