terima kasih atas cinta yang kausampaikan dalam lipatan kertas …
jazakallahu khairan …
***
يَأْتِي الدَّجَّالُ وَهُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيْهِ أَنْ يَدْخُلَ نِقَابَ الْمَدِينَةِ، فَيَنْزِلُ بَعْضَ السِّبَاخِ الَّتِي تَلِي الْمَدِينَةَ، فَيَخْرُجُ إِلَيْهِ يَوْمَئِذٍ رَجُلٌ -وَهُوَ خَيْرُ النَّاسِ، أَوْ مِنْ خِيَارِ النَّاسِ- فَيَقُولُ: أَشْهَدُ أَنَّكَ الدَّجَّالُ الَّذِي حَدَّثَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثَهُ. فَيَقُولُ الدَّجَّالُ: أَرَأَيْتُمْ إِنْ قَتَلْتُ هَذَا ثُمَّ أَحْيَيْتُهُ، هَلْ تَشُكُّونَ فِي الْأَمْرِ؟ فَيَقُولُونَ: لَا. فَيَقْتُلُهُ ثُمَّ يُحْيِيهِ، فَيَقُولُ: وَاللهِ مَا كُنْتُ فِيكَ أَشَدَّ بَصِيرَةً مِنِّي الْيَوْمَ. فَيُرِيدُ الدَّجَّالُ أَنْ يَقْتُلَهُ فَلَا يُسَلَّطُ عَلَيْهِ -رواه البخاري ومسلم
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال الشيخ عبد الله بن عبد العزيز العنقري رحمه الله: فِي الحَدِيثِ السَّابِق الَّذِي أَوْرَدْنَاهُ مِنَ المُسْنَدِ وَمِنْ أَبِي دَاوُدَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((مَنْ سَمِعَ بِالدَّجَّالِ فَلْيَنْأَ عَنْهُ، أَيْ: فَلْيَبْعُدْ))، أَمَرَ بِالبُعْدِ عَنْهُ، ثُمَّ ذَكَرَ حَالَةَ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ يَخْرُجُ إِلَى الدَّجَّالِ لَكِنَّهُ لَا يَتَأَثَّرُ بِهِ؛ بَلْ يَرُدُّ عَلَيْهِ وَيُخْزِيهِ؛ فَدَلَّ -وَاللهُ أَعْلَمُ- عَلَى تَفَاوُتِ النَّظَرِ فِي الشُّبَهِ، وَأَنَّ مَنْ كَانَ لَهُ عِلْمٌ وَلَدَيْهِ رُسُوخٌ فَإِنَّهُ إِذَا اطَّلَعَ عَلَى الشُّبْهَةِ بِقَصْدِ الرَّدِّ عَلَى أَهْلِهَا فَإِنَّ عَمَلَهُ صَوَابٌ، بِخِلَافِ العَامِيِّ الَّذِي لَا يَعْرِفُ الأُمُورَ جَيِّدًا، إِذَا اطَّلَعَ عَلَى الشُّبَهِ فَإِنَّهُ يَضِيعُ. هَذَا الرَّجُلُ يَخْرُجُ إِلَى الدَّجَّالِ، فَإِذَا خَرَجَ إِلَى الدَّجَّالِ وَهُوَ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: هَذَا الرَّجُلُ ((خَيْرُ النَّاسِ أَوْ مِنْ خِيَارِ النَّاسِ))، يَأْتِي إِلَيْهِ فَيَجْهَرُ فِي وَجْهِهِ مُبَاشَرَةً، فَيَقُولُ: أَشْهَدُ أَنَّكَ الدَّجَّالُ. مِنْ أَيْنَ شَهِدَ؟ ((الَّذِي حَدَّثَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثَهُ))، وَهَذِهِ فِيهَا فَائِدَةٌ كَبِيرَةٌ جِدًّا لِطَالِبِ العِلْمِ؛ فَفِيهَا فَضِيلَةٌ عَظِيمَةٌ لِطَلَبِ العِلْمِ -عِلْمِ الحَدِيثِ-، وَأَنَّ هَذَا العِلْمَ نَفَعَ أَهْلَهُ عِنْدَ الفِتَنِ، فَهَذَا الرَّجُلُ أَتَى إِلَيْهِ وَقَالَ: أَنْتَ الدَّجَّالُ. عَلَى أَيِّ أَسَاسٍ؟ قَالَ: لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَذَا، أَخْبَرَ أَنَّ عَيْنَهُ عِنَبَةٌ طَافِيَةٌ، وَأَخْبَرَ أَنَّ مَكْتُوبًا بَيْنَ عَيْنَيْهِ «كَافِرٌ»، وَأَخْبَرَ أَنَّهُ يَدَّعِي الرُّبُوبِيَّةَ، وَأَخْبَرَ بِأَمْرِ الخَوَارِقِ الَّتِي اغْتَرَّ بِهَا النَّاسُ. فَهَذَا مِنْ شَرَفِ عِلْمِ الحَدِيثِ
Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abd al-‘Aziz al-‘Anqari –rahimahullah– berkata:
Di dalam hadits yang telah kami kemukakan terdahulu, yang diriwayatkan di kitab Musnad dan Sunan Abi Dawud, bahwasanya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Siapa yang mendengar tentang kedatangan Dajjal, hendaklah ia menghindarinya –yakni menjauh darinya.” Beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan untuk menjauh dari Dajjal. Kemudian, beliau menyebutkan ahwal seorang lelaki dari kalangan ahli ilmu yang keluar menghampiri Dajjal, tetapi sama sekali lelaki itu tidak terpengaruh oleh Dajjal. Bahkan lelaki –berilmu tersebut- membantah Dajjal dan merendahkannya seraya menelanjangi aib-aib dan tipu daya Dajjal. Hal ini menunjukkan, wallahu ‘alamu, akan perbedaan sisi pandang terhadap syubhat, dan bahwasanya barangsiapa yang pada dirinya terdapat ilmu dan kekukuhan (di atasnya), maka apabila dia –yang memiliki ilmu tersebut- menghadapi syubhat dengan maksud untuk membantah si penebar syubhat tersebut, maka perbuatannya itu termasuk benar. Berbeda dengan orang-orang awam yang tak mengetahui perkara dengan baik, maka apabila dia menghadapi syubhat, ia pun celaka. Lelaki –berilmu- tadi keluar mendatangi Dajjal. Tatkala dia menghampiri Dajjal, dan lelaki tersebut sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Merupakan sebaik-baik manusia atau termasuk dari kalangan orang-orang terbaik,” dan dia mendatangi Dajjal dan menampakkan diri di hadapan Dajjal secara langsung seraya mengatakan, “Aku bersaksi bahwasanya kamu adalah Dajjal!” Dari manakah dasar persaksian lelaki berilmu ini datang? Yakni dari hadits yang sampai kepadanya ketika lelaki itu mengatakan kepada Dajjal, “Aku bersaksi bahwasanya kamu adalah Dajjal yang haditsnya telah diceritakan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada kami.” Dalam ucapan lelaki ini terkandung faidah yang sangat besar bagi penuntut ilmu. Di dalam ucapannya itu terkandung keutamaan yang agung bagi penuntut ilmu –yakni ilmu hadits, dan bahwasanya ilmu hadits itu memberikan manfaat bagi pembelajarnya di saat terjadi fitnah. Maka, lelaki –berilmu- tersebut mendatangi Dajjal (si pembawa fitnah) seraya mengatakan, “Kamulah Dajjal!” Di atas dasar apa ia berucap dan meyakini bahwa orang yang dihadapinya itu Dajjal? Tak lain tak bukan, keyakinan itu datang dari ilmu yang dipelajarinya karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah memberikan kabar tentang Dajjal (dalam banyak hadits). Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengabarkan bahwa Dajjal itu (buta sebelah) matanya seperti buah anggur yang mencuat, juga mengabarkan bahwasanya termaktub di antara kedua matanya kalimat ‘kafir’, juga mengabarkan bahwasanya Dajjal itu mengklaim sebagai pemilik rububiyyah, juga mengabarkan tentang perkara-perkara luar biasa yang dibawa oleh Dajjal sampai-sampai manusia tertipu dibuatnya. Maka –kekukuhan melawan syubhat- Ini termasuk di antara kemuliaan ilmu hadits … (Syarah kitab Fitan min Shahih al-Imam al-Bukhari) … -SELESAI …
***
Laki-laki itu tegak di atas ilmu. Dia bersikap dan bertindak berdasarkan ilmu. Ilmu membimbingnya untuk bersikap benar terhadap fitnah sehingga tak larut dalam fitnah atau menjadi bagian dari fitnah-fitnah. Orang tak berilmu sangat mungkin terbawa arus, tenggelam dan larut dalam fitnah bahkan ikut menebar-nebar fitnah tanpa dia sadari. Sungguh orang tak berilmu sangat mungkin terbuai dalam fitnah, ucapannya menjadi fitnah, cinta dan pembelaannya menjadi fitnah yang bertolak belakang dengan kebenaran, kebencian dan permusuhannya menjadi pedang yang diarahkan kepada kebenaran …
***
‘Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu– pernah berpetuah kepada Kumail bin Ziyad:
مٌ رَبَّانِيٌ، وَمُتَّبِعٌ عَلى سَبِيْلِ نَجَاةٍ، وَهَمَجٌ رَعَاعٌ أتْبَاعِ كُلِّ نَاعِقٍ أخرجه أبو نعيم فيالحليه 1/79-80
“Manusia itu terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu (1) ulama rabbani, (2) penuntut ilmu di atas jalan keselamatan, dan (3) rakyat jelata yang mengikuti semua penyeru.” (Atsar riwayat Abu Nu’aim, al-Hilyah: 1/79-80)
لا يخرُجُ النَّاسُ -كيفَمَا كانُوا، وأيْنَمَا كانُوا- عَنْ هَذهِ الأصْنَافِ الثَّلاثَةِ:
عالمٌ ربانِيٌ»: أيْ منْسُوبٌ إلى الرَّبِّ العَظيم -جَلَّ جَلالُه-، ويُربي النَّاسَ عَلى ذَلك.
أو «مُتَّبِعٌ عَلى سَبِيْلِ نَجَاةٍ»: لَيْسَ مُقَلِّدَا، ولا مُتَعَصِّبًا، ولا مُتَحزِّبًا، وإنَّما يُريدُ اللهَ والدَّارَ الآخرةَ؛ لأنَّهما عنوان النَّجاة، وما سوى ذاك؛ فإِلى الخُسران المُبين، بِقدرِ تَخلُّفِه عن هذا؛ يَنالُه مِن ذاك؛ فمُقلٍّ أو مستكثر
والصِّنف الثَّالث: «همجٌ رعَاعٌ، أتباعُ كلِّ ناعِقٍ»: ليست عندهم القواعدُ العِلميَّة، ولا الأصولُ الشَّرعيَّة، ولا السُّبُل والأُسس المَرعيَّة، في إطار الشَّريعة الإسلاميَّة، وإنَّما يَصيحون مع كلِّ مُنادٍ، ويَتيهون في كلِّ وادٍ، همجٌ رَعَاعٌ، ليس مِن عِلمٍ يُحرِّكُهم، ولا مِن شريعةٍ تدفعُهم، أتباعُ كلِّ ناعقٍ، بِقدر ما كان نُعاق هذا النَّاعق أشدَّ، وبقدر ما كان صِياحُه أعلى؛ بِقدرِ ما وجد مِن الأَتباع أكثر، ومِن الأعداد أوفر.
… فلْيُراجع نفسَه، وليتأمل مواضِعَ قَدَمَيْه، وحركاتِ فُؤادِه، وتحرُّكات لسانه؛ حتى لا يكون عنده مِن الإثم، ومِن المخالفة بِقَدر ما عنده مِن التَّبعيَّة والعصبيَّة والجهل والحَمِيَّة -كلمة حول أحداث مصر
Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi al-Atsari –hafizhahullah– berkata:
Manusia pastilah berada pada salah satu dari ketiga macam kelompok itu:
(2) atau –jika tidak yang pertama- bisa jadi sebagai seorang penuntut ilmu yang meneladan di atas jalan keselamatan. Dia bukanlah muqallid (pengekor), muta’ashshib (fanatik golongan) maupun mutahazzib (pengikut setia hizb). Dia -tidaklah seperti itu melainkan- orang yang hanya mengharapkan Allah dan negeri akhirat saja karena hal itu merupakan jalan keselamatan. Adapun jalan selain itu hanyalah jalan-jalan yang mengantarkannya kepada kerugian yang nyata menurut tingkat penyimpangannya, sedikit maupun banyak;
(3) atau –jika bukan pertama atau kedua- mungkin termasuk kelompok ketiga, yaitu rakyat jelata yang mengikuti semua penyeru. Mereka tidak berbekal kaidah ilmiah maupun pijakan syariat, tidak pula memiliki kerangka dan asas menurut syariat Islam. Mereka hanyalah orang yang berteriak mengikuti setiap teriakan para penyeru dan ikut-ikutan merapah di setiap lembah. Mereka inilah masyarakat jelata yang tidak digerakkan oleh ilmu dan tidak pula didorong oleh pengetahuan syariat. Mereka membebek karena terpengaruh oleh seloroh dan ocehan yang keras, ikut-ikutan karena terpengaruh oleh jumlah dan banyaknya manusia.
… karena itu, hendaklah seseorang itu senantiasa menyelami diri dan memerhatikan tempat bagi kedua kakinya berpijak. Perhatikan pulalah pergerakan hati dan pergerakan lisan agar tidak ada lagi pada dirinya dosa dan penyimpangan berupa sikap mengekor belaka, melulu fanatisme, juga kebodohan dan semangat yang berapi-api semata.(Syaikh ‘Ali Hasan; Kalimah haula ahdats Mishri)
***
Maka belajarlah! Perkuat dirimu dengan ilmu agar kau tak miring mengikuti arah angin berembus. Belajarlah, karena sesungguhnya fitnah-fitnah itu telah mengembun hingga ke celah-celah rumah kita …
“Sesungguhnya aku melihat fitnah-fitnah memasuki celah-celah rumah kalian bagaikan tetes-tetes air.” (HR. Muslim)
*Sebuah nasihat untukku …
Bandung, 11 Juni 2012
–HENDRA WIBAWA IBN TATO WANGSA WIDJAJA—
*glek.. *tertampar.. jangan2 ikut menghembuskan embun2 fitnah itu.. huhu
Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ’Aziz al-Anqari –rahimahullah-Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi al-Atsari –hafizhahullah-itu siapa bang?ulama generasi kapan? *ga gauul.. hiks..
semoga bisa menjadi golongan kedua.. bukan sekadar golongan ketiga…
nooohh dengerin baaang.. jangan kebanyakan maen ping pong =)))*ngakak gulung2.. ahaha.. *siap2 disambiit.. *ngaciiirr.. haghag
ooohhhh iya yaaaa… *nengok ke atas
@ fajar: ooohhhh iya yaaaa… *nengok ke atas
salam juga untuk semut … he he he …alhamdulillah, saya dan keluarga dalam keadaan sehat, teman …ayo kita cari tongkat sakti itu … ha ha ha …
terima kasih kembali, Sumy … he he he …
soalnya di sini ada bintang kejora …ada lima bintang kejora … he he he …
iya, kasihan si resensi ini …seperti dianaktirikan … he he he …
betul sekali …mungkin itu pula sebabnya mengapa kita harus bertanya kepada ulama, ya … he he he …
kan kalau di sini banyak bintang kejora -halah- … he he he …
ya, jika kita bodoh maka sangat mungkin jika kita terhempas oleh fitnah dan mungkin juga malah menjadi bagian dari fitnah …fitnah itu merupakan sunnah kauniyah (ketetapan yang pasti terjadi) sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam tentang fitnah-fitnah yang akan terjadi di masa yang akan datang seperti perpecahan, munculnya ruwaibidhah, dan lain-lain. Hanya saja, agar kita tidak termasuk sebagai bagian dari fitnah itu, atau agar kita selamat dari fitnah-fitnah itu, maka kita harus membekali diri dengan ilmu agar kita bisa berjalan sesuai dengan sunnah syar’iyah (petunjuk-petunjuk sunnah/syariat) yang bisa membuat kita berdiri kukuh dari terjangan fitnah. Jika sunnah kauniyah itu dimisalkan sebagai penyakit, maka sunnah syar’iyah adalah obatnya … Banyak hal yang menunjukkan masalah sunnah kauniyah dan sunnah syar’iyah ini. Misalnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam:… فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا ف“… karena orang-orang yang hidup sepeninggal kalian akan melihat pertentangan yang banyak.”Ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam tersebut merupakan kabar tentang akan terjadinya perselisihan di tubuh kaum muslimin. Inilah sunnah kauniyah. Akan tetapi, beliau pun langsung memberi petunjuk kepada kita untuk bersikap dan bertindak benar terhadap keadaan itu. Petunjuk beliau itu adalah: َعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِيْ تَمَسَّكُوْابِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ“Maka, berpegangteguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah khulafa-ur rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi gerahammu. Tinggalkanlah hal-hal yang baru karena setiap bid’ah adalah sesat.”Petunjuk beliau itulah yang disebut sebagai sunnah syar’iyah. Barangsiapa yang menjalankan sunnah syar’iyah ini, niscaya dia tak akan terpengaruh oleh fitnah.Contoh lainnya misalnya:Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:إِنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَةٌ“Sesungguhnya kelak akan terjadi fitnah.”Para shahabat pun bertanya:فَكَيْفَ لَنَا يَارَسُوْلَ اللهِ ؟“Apa yang harus kami lakukan, wahai Rasulullah?”Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam menjawab:تَرْجِعُوْنَ إِلىَ أَمْرِكُمُ اْلأَوَّلِ“Kembalilah kepada urusan kalian yang pertama.”Rasululah shallallahu ‘alaihi wassalam juga menjelaskan tentang fitnah-fitnah lainnya, lalu menjelaskan pula petunjuk agar selamat dari hal tersebut. Ketika beliau menyebutkan fitnah berupa perpecahan yang banyak (dan ini merupakan sunnah kauniyah), maka beliau pun menjelaskan pula obatnya (yang merupakan sunnah syar’iyah) dengan misalnya sabda beliau, “Ma ana ‘alaihil yaum wa ash-habi (apa yang aku dan para shahabatku pegangi pada hari ini) …wallahu a’lamu …
Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ’Aziz al-Anqari itu ulama, dan kini sudah wafat . Beliau termasuk gurunya Syaikh Hamud at-Tuwaijiri -yang juga sudah wafat –semoga Allah merahmati mereka berdua.Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi al-Atsari adalah salah satu ulama Urdun (Yordania). Beliau masih ada sampai saat ini -semoga Allah menjaga beliau. Beliau termasuk murid dari Syaikh al-Albani -rahimahullah …
semoga, semoga …