Kutemukan secarik kertas yang terselip di antara deretan buku tua yang telah menguning. Tiada yang tertulis pada kertas itu selain nukilan semangat:
تَأخَرْتُ أسْتَبْقِي الحياةَ فلمْ أجِدْ *** لنفسِي حياة ًمِثلَ أنْ أتَقَدَمَا
Aku berlari ke belakang untuk mengekalkan kehidupan, namun tak kudapati kehidupan (hakiki) bagi jiwaku semisal jika kubergerak ke depan (hingga syahid melawan musuh-musuhku) …
مَنْ لمَ ْيَمُتْ غَبْطَةً يَمُتْ هَرَمًا *** اَلْمَوْتُ كَأْسٌ وَالْمَرْءُ ذَائِقُهَا
Siapa tak mati dalam kegagahan, niscaya mati dalam kelemahan. Sungguh kematian itu ibarat air di gelas, dan setiap orang kan mereguknya …
Tak tertera tanggal pada kertas itu, dan aku menduga bait-bait itu dinukil oleh si pemilik kertas pada masa perjuangan –atau aku menduga si penukil itu pernah melewati masa-masa perjuangan di ardhul khadhra’, bumi pertiwi yang hijau ini … wallahu a’lamu …
Bandung, 14 Juni 2012
–HENDRA WIBAWA IBN TATO WANGSA WIDJAJA—
Terimakasih untuk tulisan yang bagus 🙂
terima kasih kembali, Sumy …itu bait kutipan saja … he he he …
suka sama foto yh mas hendra gunakan……unik……….
itu tangan menyentuh bumi … he he he …
oh menyentuh bumi toh saya fikir menyentuh kalbu….hee hee heee…ada kemerah merahannya toh……
iya, kalbu putri malu … ha ha ha …kan perdu putri malu ada di tanah … he he he …
saya meyangka itu tangan mas hendra bukan? hee hee heeee tangan sang pujangga yg malu malu kuching……..aaaiiikkk
he he he …malu-malu kucing hitam …
Dalem… 🙂
semangat mendalam … he he he …
Jarang online , postingan mas Hendra banyak yang ketinggalan :(Jadi sebaiknya meninggal dalam kegagahan ya Mas …
iya, sangat baik sekali …ingin sekali bisa seperti itu … he he he …