Kerapuhan Penuturan Tentang Kisah Halimah as-Sa’diyah …

Halimah as-Sa'diyah

Salah satu di antara kisah-kisah lemah yang sering kita dengar atau baca adalah kisah tentang perjalanan Halimah as-Sa’diyah bersama suami dan para perempuan kabilah Bani Sa’d bin Bakr menuju Mekah untuk mencari anak-anak susuan. Berikut ini saya nukilkan –juga alihbahasakan- penjelasan Syaikh ‘Ali Hasyisy al-Mishri –hafizhahullah– di kitab Tahdzir ad-Da’iyah min al-Qishah al-Wahiyah (1/42-48) mengenai kelemahan kisah tersebut …

MATAN (Redaksi) Kisah

 

قال ابن إسحاق كانت حليمة تحدث: (أنها خرجت من بلدها مع زوجها وابن لها ترضعه في نسوة من بني سعد بن بكر، تلتمس الرضعاء، قالت: وذلك وفي سنة شهباء لم تبق لنا شيئا، قالت: فخرجت على أتان لي قمراء، معنا شارف لنا، والله ما تبض بقطرة، ولا ننام ليلتنا أجمع من صبينا الذي معنا من بكائه من الجوع، ما في ثديي ما يغنيه، وما في شارفنا ما يغذيه، ولكنا نرجوا الغيث والفرج، فخرجت على أتاني تلك، فلقد أذمت بالركب حتى شق ذلك عليهم ضعفا وعجفا، حتى قدمنا مكة نلتمس الرضعاء، فما منا امرأة إلا وقد عرض عليها رسول الله {صلى الله عليه وسلم} فتأباه، إذا قيل لها: إنه يتيم، وذلك أنا إنما كنا نرجو المعروف من أبي الصبي، فكنا نقول: يتيم ما عسى أن تصنع أمه وجده؟ فكنا نكرهه لذلك، فما بقيت امرأة قدمت معي إلا أخذت رضيعا غيري، فلما أجمعنا الانطلاق قلت لصاحبي والله إني لأكره أن أرجع من بين صواحبي ولم آخذ رضيعا والله لأذهبن إلى ذلك اليتيم فلآخذنه، قال لا عليك أن تفعلي عسى الله أن يجعل لنا فيه بركة، قالت: فذهبت إليه فأخذته وما حملني على أخذه إلا أني لم أجد غيره. فلما أخذته رجعت به إلى رحلى فلما وضعته في حجري أقبل عليه ثدياي بما شاء من لبن فشرب حتى روى، وشرب معه أخوه حتى روى، ثم ناما، وما كنا ننام معه قبل ذلك، وقام زوجي إلى شارفنا تلك، فإذا هي حافل، فحلب منها ما شرب وشربت حتى انتهينا ريا وشبعا، فبتنا بخير ليلة.

قالت: يقول صاحبي حين أصبحنا: تعلمي والله يا حليمة، لقد أخذت نسمة مباركة، قلت: فقلت: والله إني لأرجو ذلك. قالت: ثم خرجنا وركبت أنا أتاني، وحملته عليها معي، فوالله لقطعت بالركب ما يقدر علي شيء من حمرهم، حتى إن صواحبي ليقلن لي: يا ابنة أبي ذؤيب، ويحك اربعي علينا، أليست هذه أتانك التي كنت خرجت عليها، فأقول لهن: بلى والله إنها لهي هي، فيقلن: والله إن لها شأنا. قالت: ثم قدمنا منازلنا من بلاد بني سعد، ولا أعلم أرضا من أرض الله أجدب منها، فكانت غنمى تروح علي حين قدمنا به معنا شباعا لبنا، فنحلب ونشرب، وما يحلب إنسان قطرة لبن، ولا يجدها في ضرع، حتى كان الحاضرون من قومنا يقولون لرعيانهم، ويلكم اسرحوا حيث يسرح راعي بنت أبي ذؤيب، فتروح أغناهم جياعا ما تبض بقطرة لبن، وتروح غنمي شباعا لبنا، فلم نزل نتعرف من الله الزيادة والخير حتى مضت سنتان وفصلته، وكان يشب شبابا لا يشبه الغلمان، فلم يبلغ سنتيه حتى كان غلاما جفرا. قالت: فقدمنا به على أمه، ونحن أحرص على مكثه فينا، لما كنا نرى من بركته، فكلمنا أمه، وقلت لها: لو تركت ابنى عندي حتى يغلظ، فإني أخشى عليه وباء مكة. قالت: فلم نزل بها حتى ردته معنا)

 

Ibn Ishaq mengatakan:

Halimah mengisahkan bahwa dirinya pergi dari kampung halamannya bersama suami dan anaknya yang masih menyusu, juga para perempuan Bani Sa’d bin Bakr untuk mencari anak-anak yang bisa mereka susui (anak susuan).

Halimah mengatakan:

Itu terjadi pada tahun paceklik yang tak memberikan apa pun kepada kami. Aku berangkat dengan mengendarai keledai betina berwarna putih kehijau-hijauan. Kami juga membawa unta betina tua yang –demi Allah- sudah tak banyak mengeluarkan susu. Kami melewati malam tanpa bisa tidur karena tangis lapar anak kami, sementara payudaraku sudah tak mengeluarkan susu yang mencukupi baginya (karena kurang asupan makanan –pent), begitu juga dengan (susu) dari unta betina tua kami. (Dalam kondisi seperti itu), kami mengharapkan hujan dan (air) lembah. Aku melanjutkan perjalanan mengendarai keledai betinaku yang telah begitu lemah dan kurus sehingga menghambat dan menyusahkan kabilah sampai akhirnya kami sampai di Mekah dan mencari anak-anak susuan.

Tak ada seorang pun perempuan dari kabilah kami yang menerima Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam– sebagai anak susuan saat dikatakan, “Dia ini anak yatim.” Hal itu dikarenakan kami memang mengharapkan imbalan dari ayah si anak. Kami berpikir, “Apa yang bisa diperbuat oleh ibu dan kakek dari seorang anak yatim (untuk membayar kami)?” Karena itulah kami enggan untuk menerima Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hanya tinggal aku saja yang belum mendapatkan anak susuan di antara semua perempuan yang datang bersamaku. Tatkala kami akan kembali ke kampung halaman, aku lantas berkata kepada suamiku, “Demi Allah, aku enggan pulang bersama rombongan tanpa mendapatkan anak susuan. Demi Allah, aku benar-benar akan kembali ke tempat anak yatim itu dan benar-benar akan mengambilnya sebagai anak susuan!” Suamiku pun berkata, “Tiada halangan untuk kau lakukan, semoga Allah menjadikan pada dirinya keberkahan bagi kita.”

Aku pun kembali kepada (keluarga) Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dan mengambilnya sebagai anak susuan. Tidak ada yang mendorongku untuk membawanya kecuali karena aku tak mendapatkan anak lain.

Setelah mendapatkannya, aku pun membawa anak susuku menaiki tungganganku dan memberikan payudaraku yang ternyata penuh dengan susu kepadanya. Dia pun menyusu sampai puas kemudian tidur. Demikian juga dengan saudara sepersusuannya (anakku), padahal sebelumnya kami tak pernah bisa tidur karena (anakku) selalu menangis. Sementara itu, suamiku beranjak menuju unta betina tua kami, dan ternyata ambing susunya padat berisi. Suamiku pun memerahnya hingga aku minum susu bersamanya sampai puas dan kenyang lalu menghabiskan malam dengan indah.

Ketika hari telah mendusin, suamiku berkata, “Demi Allah aku tahu, wahai Halimah! Sungguh kamu telah mengambil jiwa yang penuh berkah.” Aku lantas berkata, “Demi Allah, itulah yang kuharapkan.”

Kemudian kami melanjutkan perjalanan. Aku menunggangi lagi keledai betinaku dengan membawa anak susuanku. Maka demi Allah, keledai betinaku berlari begitu cepat mengalahkan keledai-keledai mereka, sampai-sampai kawan-kawanku berkata kepadaku, “Celaka kamu, Wahai putri Abu Dzu’aib! Berhenti dan tunggulah kami! Apakah keledai betinamu ini bukan keledai betina yang kau kendarai saat kau pergi?” Maka aku pun menjawab, “Bahkan, demi Allah, ini keledai betinaku yang kemarin!” Mereka berkata lagi, “Demi Allah, pasti ada sesuatu yang terjadi dengannya!” Kemudian kami pun tiba di kampung halaman kami, Kabilah Bani Sa’d.

Aku tak mengetahui negeri mana di bumi Allah yang lebih gersang dari perkampungan Bani Sa’d, namun kambingku selalu pulang (dari tempat penggembalaan) di sore hari dalam keadaan penuh dengan susu sehingga kami pun memerah dan meminumnya. Berbeda dengan kaumku, mereka tak mendapatkan setetes pun susu dari ambing kambing yang mereka perah. (Mengetahui hal itu), orang-orang dari kabilah kami pun berkata kepada para penggembala kambing, “Celaka kalian! Gembalakanlah kambing-kambing kami di tempat penggembala kambing putri Abu Dzu’aib menggembalakan kambingnya!”  Akan tetapi, tetap saja kambing-kambing mereka pulang dalam keadaan lapar dan tak mengeluarkan setetes susu pun, sementara kambingku pulang dalam keadaan penuh dengan susu. Terus-menerus kami memperoleh rezeki dari Allah ini selama dua tahun hingga tiba waktu penyapihan bagi anak susuku, dan dia mengalami pertumbuhan melebihi pertumbuhan anak-anak lainnya, dan tidaklah dia mencapai usia itu melainkan sebagai seorang anak yang kuat.

Kami mengembalikan anak susuan kami itu kepada ibunya, sementara kami sangat ingin agar dia tetap tinggal bersama kami setelah kami melihat keberkahan pada dirinya. Kami pun berbincang dengan ibunya dan kukatakan kepadanya, “Seandainya kau biarkan dia tinggal bersamaku hingga besar, karena aku sungguh khawatir iklim kota Mekah tidak cocok baginya.” Tak henti-hentinya kami meminta (kepada ibunya) hingga akhirnya dia mengizinkan anaknya dibawa lagi oleh kami.

TAKHRIJ (Sumber Pemberitaan kisah)

 

القصة أخرج حديثها: أبو يعلى في مسنده (١٣/٩٣) ح (٧١٦٣)، والطبراني في الكبير (٢٤/٢١٣) ح (٥٤٥)، وأبو نعيم في دلائل النبوة (١/١٩٣-١٩٦) ح (۹٣)، وابن حبان ح (٢۹٤-موارد)، وابن هشام في السيرة (١/۲١١) كلهم من طريق ابن إسحاق قال: حدثنى جهم بن أبى جهم مولى الحاريث بن حاطب الجمحى، عن عبد الله بن جعفر بن أبى طالب، أو عمن حدثه عنه، قال: (كانت حليمة بنت أبى ذؤيب السعدية أم رسول الله صلى الله عليه وسلم التى أرضعته تحدث أنها خرجت من بلدها مع زودها …) القصة

 

Kisah di atas dikeluarkan oleh Abu Ya’la di kitab Musnad (13/93; nomor hadits 8163), ath-Thabarani di kitab al-Kabir (24/213; nomor hadits 545), Abu Nu’aim di kitab Dala-il an-Nubuwwah (1/193-196; nomor hadits 93), Ibn Hibban di kitab Mawarid (293), dan Ibn Hisyam di kitab Sirah (1/211); semua dari jalan Ibn Ishaq, dia mengatakan: telah mengabarkan kepadaku Jahm bin Abu Jahm maula al-Harits bin Hatib al-Jamhi, dari ‘Abdullah bin Ja’far bin Abu Thalib atau dari seseorang yang memberi kabar dari ‘Abdullah bin Ja’far bin Abu Thalib, dia berkata, “Halimah binti Abu Dzu’aib as-Sa’diyah, ibu susu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengabarkan bahwa dirinya pergi dari kampung halamannya bersama suaminya….” –sampai akhir kisah …

 

والحديث أورده ابن كثير في البداية والنهاية (۲/٦٦١) تحت عنوان (رضاعه عليه الصلاة والسلام من حليمة بنت ابي ذؤيب السعدية وما ظهر عليها من البركة وآيات النبوة) حيث قال: قال ابن إسحاق: حدثني جهم بن أبى جهم مولى لامرأة من بنى تميم كانت عند الحارث بن حاطب، ويقال له: مولى الحارث بن حاطب، قال: حدثني من سمع عبد الله بن جعفر بن أبى طالب، قال: حدثت عن حليمة بنت الحارث أنها قالت: قدمت إلى مكة في نسوة …)

 

Hadits ini juga disebutkan oleh Ibn Katsir di kitab al-Bidayah wa an-Nihayah (2/661) di bawah tajuk “Penyusuan Beliau –‘alaihish shalatu was salam- kepada Halimah binti Abu Dzu’aib as-Sa’diyah dan apa yang Tampak bagi Halimah dari Keberkahan dan Tanda-Tanda Kenabian”. Di tempat itu Ibn Katsir berkata:

Ibn Ishaq mengatakan: telah mengabarkan kepadaku Jahm bin Abu Jahm maula dari salah seorang perempuan Bani Tamim (dan ada yang mengatakan bahwa dia itu maula al-Harits bin Hathib), bahwa dia pernah berada di dekat al-Harits bin Hathib, dia berkata: telah mengabarkan kepadaku seseorang yang mendengar ‘Abdullah bin Ja’far bin Abu Hathib, dia berkata: dikabarkan kepadaku dari Halimah binti al-Harits, bahwasanya dia berkata, “Aku pergi menuju Mekah bersama para perempuan ….”

 

والحديث أخرجه البيهقي في دلائل النبوة (١/١٣۲-١٣٣) من طريق ابن إسحاق قال: حدثني جهم بن أبى جهم مولى لامرأة من بنى تميم كانت عند الحارث بن حاطب، فكان يقال: مولى الحارث بن حاطب، قال: حدثني من سمع عبد الله بن جعفر بن أبى طالب، يقول: حدثت عن حليمة بنت الحارث أم رسول الله صلى الله عليه وسلم التى أرضعته أنها قالت: قدمت مكة في نسوة من بنى سعد بن بكر …)

 

Hadits ini juga dikeluarkan oleh al-Baihaqi di kitab Dala-il an-Nubuwwah (1/132-133) dari jalan Ibn Ishaq, dia berkata: telah mengabarkan kepadaku Jahm bin Abu Jahm maula dari salah seorang perempuan Bani Tamim (dikatakan juga dia itu maula al-Harits bin Hathib), bahwa dia pernah berada di dekat al-Harits bin Hathib, dia berkata: telah mengabarkan kepadaku seseorang yang mendengar ‘Abdullah bin Ja’far bin Abu Thalib berkata: dikabarkan kepadaku dari Halimah binti al-Harits, ibu susu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya dia berkata, “Aku pergi ke Mekah bersama para perempuan Bani Sa’d bin Bakr ….”

TAHQIQ (Penelitian atas Validitas Hadits)

 

القصة ليست صحيحة، وفيها علتان:

 

Kisah di atas tidak shahih karena mengandung dua cacat (penyakit) di dalamnya:

 

الأولى: جهم بن أبى جهم –وهو مجهول الحال. قال الذهبى في الميزان (١/٤۲٦/١٥۸٣): جهم بن أبى الجهم عن ابن جعفر بن أبى طالب، وعنه محمد ابن إسحاق، لا يعرف، له قصة حليمة السعدية)

وأقره ابن حجر في اللسان (١/١۷۸)-(۲۷٤/۲١٤١)

 

Pertama:

Keberadaan Jahm bin Abu Jahm, dan dia seorang yang majhul al-hal (tertutupi/tidak diketahui keadaannya).

Adz-Dhahabi berkata di kitab al-Mizan (1/427/1583), Jahm bin Abu al-Jahm menerima riwayat dari Ibn Ja’far bin Abu Thalib. Muhammad bin Ishaq mengambil riwayat darinya. Dia tidak dikenal, dan dia memiliki kisah tentang Halimah as-Sa’diyah.”

Ibn Hajar menyetujui ucapan adz-Dzahabi tersebut di kitab al-Lisan (1/178)-(274-2141).

 

الثانية: فيه انقطاع:

أ – بين جهم بن أبى جهم وبين عبد الله بن جعفر بن أبى طالب

ب – وكذلك بين عبد الله بن جعفر و بين حليمة السعدية

 

Kedua:

Ada inqitha’ (keterputusan) pada sanadnya, yaitu:

(1) Keterputusan antara Jahm bin Abu Jahm dengan ‘Abdullah bin Ja’far bin Abu Thalib.

(2) Demikian juga keterputusan antara ‘Abdullah bin Ja’far dengan Halimah as-Sa’diyah.

FAIDAH PENTING

 

(أ) لقد أورد الدكتور محمد سعيد رمضان البوطى هذه القصة في كتابه فقه السيرة ص (٤٩) باختصار

(ب) الرد:

فردّ عليه الشيخ الألباني –رحمه الله- في كتابه دفاع عن الحديث النبوى والسيرة في الرد على جهالات الدكتور البوطى في كتاب فقه السيرة ص (٣۹-٤۰)، فقال:

 

(1) Doktor Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi telah menyebutkan kisah ini di kitabnya Fiqh as-Sirah (halaman 49) secara ringkas …

(2) Syaikh al-Albani –rahimahullah– telah menuliskan bantahan terhadap Doktor Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi itu di kitab beliau Difa’ ‘an al-Hadits an-Nabawwi wa as-Sirah fi ar-Radd ‘ala Jahalat ad-Duktur al-Buthi fi Kitab Fiqh as-Sirah (Pembelaan terhadap Hadits Nabawi dan Sejarah dalam Membantah Kejahilan Doktor al-Buthi di Kitab Fiqh as-Sirah) pada halaman 39-40:

 

إن القصة لم تأت بأسناد تقوم به الحجة، وأشهر طرقها ما رواه محمد بن إسحاق عن جهم بن أبى جهم، عن عبد الله بن جعفر، حليمة بنت الحارث السعدية … وهذا إسناد ضعيف، وفيه علتان:

الأولى: الإضطراب في إسناده، كما هو ظاهر، ففي الرواية الأولى عنعنة ابن إسحاق جميع رواته، وفي الأخرى تصريحه بالتحديث، مع تصريح الجهم بأنه لم يسمعه من عبد الله بن جعفر، وتصريح هذا بأنه لم يسمعه من حليمة. فعلى الرواية الأولى، فيه انقطاع بين ابن إسحاق والجهم، لأن الأول مشهور بالتدليس. وعلى الرواية الأخرى الإنقطاع في موضعين منه، ومنه تعلم وهْم الحافظ في الإصابة حيث قال (٤/۲٦٦): وصرح ابن حبان في صحيحه بالتحديث بين عبد الله وحليمة، فإنه لا أصل لهذا التحديث عند ابن حبان، ولا عند غيره ممن ذكرنا، ويستبعد جداً أن يدرك عبد الله بن جعفر حليمة مرضعة الرسول صلى الله عليه وسلم، فإنه لما توفى النبي صلى الله عليه وسلم كان عبد الله ابن عشر سنين، وهي وإن لم يذكروا لها وفاة فمن المفروض عادة أنها توفيت قبل رسول الله صلى الله عليه وسلم، والله أعلم، وسواء كان الراجح الرواية الأولى أو الأخرى فالأسناد منقطع لا محالة.

والعلة الأخرى: أن مدارة على جهم بن أبى جهم، وهو مجهول الحال، قال الذهبي في الميزان: لا يعرف، له قصة حليمة السعدية.

 

Sesungguhnya kisah ini tidak datang dengan sanad yang bisa dijadikan hujjah, sementara jalan periwayatannya yang paling terkenal adalah yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Ishaq dari Jahm bin Abu Jahm, dari Halimah binti al-harits al-Asa’diyah … dan sanad ini dha’if (lemah), di dalamnya terdapat dua cacat (penyakit), yaitu:

Cacat pertama, terdapat idh-thirab (keguncangan) dalam sanadnya, sebagaimana tampak dengan jelas. Pada riwayat pertama disebutkan ‘an’anah Ibn Ishaq pada keseluruhan riwayat, sementara pada riwayat yang lain dia menjelaskan tahdits (ucapan: haddatsana/haddatsani) bersama adanya penjelasan bahwa al-Jahm bin Abu Jahm tidak mendengar (secara langsung) dari ‘Abdullah bin Ja’far, dan tidak pula ‘Abdullah bin Ja’far itu mendengar (langsung) dari Halimah. Oleh karena itu, riwayat pertama inqitha’ (terputus) antara Ibn Ishaq dengan al-Jahm karena Ibn Ishaq telah diketahui melakukan tadlis, sedangkan pada riwayat yang lain terdapat dua keterputusan (yaitu keterputusan antara Jahm bin Abu Jahm dengan ‘Abdullah bin Jafar dan keterputusan antara ‘Abdullah bin Ja’far dengan Halimah –pent). Dari sini bisa diketahui bahwa al-Hafizh telah melakukan kesalahan dalam ucapannya di kitab al-Ishabah (4/266), “Ibn Hibban telah menjelaskan di kitab shahih-nya tentang adanya tahdits antara ‘Abdullah dan Halimah,” padahal penjelasan tentang tahdits tersebut tidak dikatakan oleh Ibn Hibban, tidak pula oleh yang lain dari para ulama yang kami sebutkan. Dan sungguh sangat jauh jarak antara ‘Abdullah bin Ja’far dengan Halimah ibu susu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– karena ketika Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– wafat, ‘Abdullah bin Ja’far itu baru berusia sepuluh tahun, sedangkan Halimah, meskipun tidak disebutkan kapan wafatnya, namun besar dugaan dia telah lebih dulu wafat sebelum Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lamu. Dan yang benar sama saja, baik riwayat pertama maupun yang lainnya, tiada keraguan tentang kelemahan sanadnya.

Cacat kedua, hadits ini berporos pada Jahm bin Abu al-Jahm, dan dia itu seorang yang majhul al-hal. Adz-Dzahabi berkata di kitab al-Mizan, Dia tidak dikenal, dan dia memiliki kisah tentang Halimah as-Sa’diyah.”

 

JALUR PERIWAYATAN LAIN

 

وللقصة طريق آخر أخرجه ابن سعد في الطبقات (١/٥۲) قال: أخبرنا محمد بن عمر بن واقد الأسلمي، أخبرنا زكرياء بن يحيى بن يزيد السعدي عن أبيه قال: (قدم مكة عشر نسوة من بنى سعد بن بكر يطلبن الرضاع، فأصبن الرضاع كلهن إلا حليمة …) فذكر القصة

Jalan periwayatan lain atas kisah di atas dikeluarkan oleh Ibn Sa’d di kitab ath-Thabaqat (1/52). Ibn Sa’d berkata: telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Umar bin Waqid al-Aslami, telah mengabarkan kepada kami Zakariya bin Yahya bin Yazid as-Sa’di dari ayahnya, dia berkata, “Sepuluh orang perempuan dari kabilah Bani Sa’d bin Bakr pergi ke Mekah untuk mencari anak-anak susuan. Mereka semua berhasil mendapatkan anak susuan kecuali Halimah ….” –lalu menyebutkan kisahnya …

 

TAHQIQ (Penelitian atas Validitas Jalur Periwayatan Lain)

 

قلت: والقصة من هذا طريق أيضاً واهية، علتها: محمد بن عمر بن واقد الأسلمي، مولاهم الواقدي، أورده الذهبى في الميزان (٣/۲٦۲/۷۹۹٣) حيث قال: (قال أحمد بن حنبل: هو كذاب، يقلب الأحاديث)

وقال ابن معين: ليس بثقة. وقال مرة: لا يكتب حديثه.

وقال البخارى وأبو حاتم: متروك. وقال أبو حاتم أيضاً والنسائى: يضع الحديث.

وقال الدارقطني: فيه ضعف. وقال ابن عدى: أحاديثه غير محفوظة، والبلاء منه.

وقال البخارى: سكتوا عنه، ما عندي له حرف. وقال ابن راهوية: هو عندي ممن يضع الحديث. ثم ختم ترجمته بقوله: واستقر الإجماع على وهن الواقدي

 

Aku berkata:

Kisah melalui jalur periwayatan ini juga lemah. Sumber cacat (penyakit)nya adalah Muhammad bin ‘Umar bin Waqid al-Aslami al-Waqidi. Imam adz-Dzahabi telah menyebutkan al-Waqidi ini di kitab al-Mizan (3/262/7993) dengan mengatakan, “Ahmad bin Hanbal mengatakan, dia (al-Waqidi) itu pendusta, suka membolak-balik hadits.”

Ibn Ma’in berkata, “Tidak bisa dipercaya,” juga mengatakan, “Jangan ditulis haditsnya.”

Imam al-Bukhari dan Abu Hatim mengatakan, “Dia matruk (ditinggalkan haditsnya),” dan Abu Hatim juga bersama Imam an-Nasai mengatakan, “Dia memalsukan hadits.”

Imam ad-Daruquthni berkata, “Lemah pada dirinya,” sedangkan Ibn ‘Adi mengatakan, “Hadits-haditsnya tidak terjaga, dan kerusakan berasal darinya.”

Imam al-Bukhari mengatakan, “Mereka diam darinya, dan aku sama sekali tak memiliki huruf darinya.” Dan Ibn Rahawiyah mengatakan, “Dalam pandanganku, dia itu termasuk pemalsu hadits,” kemudian Ibn Rahawiyah menutup biografi al-Waqidi dengan ucapan, “Ijma’ menetapkan kelemahan al-Waqidi.”

 

قلت: وأورده ابن حبان في المجروحين (۲/۲۹٠) حيث قال:

 

Aku katakan, Ibn Hiban telah menyebutkan al-Waqidi di kitab al-Majruhin (2/290) dengan mengatakan:

 

١- محمد بن عمر بن واقد الواقدى الأسلمى المدنى قاضى بغداد، كنيته أبو عبد الله، يروى عن مالك وأهل المدينة، مات سنة سبع ومائتين أو بعدها بقريب ببغداد يوم الثلاثاء، لأثنتى عشرة خلت من رجب، كان ممن يحفظ أيام الناس وسيرهم، وكان يروى عن الثقات المقلوبات، وعن الأثبات المعضلات، حتى ربما سبق إلى القلب أنه كان المعتمد لذلك، كان أحمد بن حنبل يكذبه

 

(1) Muhammad bin ‘Umar bin Waqid al-Waqidi al-Aslami al-Madini, seorang Hakim di Bagdad, dengan nama kun-yah Abu ‘Abdillah. Dia meriwayatkan hadits dari Imam Malik dan ahli Madinah, wafat pada tahun 207 Hijriyah atau sesudahnya di suatu daerah di dekat Bagdad pada hari Selasa 12 Rajab. Dia termasuk salah seorang penulis sejarah, dan dia mencampurbaurkan riwayat dari orang-orang tepercaya serta meriwayatkan secara mu’dhal (gugur sanad) dari orang-orang yang jujur, sampai-sampai tertanam dalam hati bahwa al-Waqidi memang senantiasa melakukan hal seperti itu, makanya Ahmad bin Hanbal menganggapnya pendusta.

 

۲- وقال: سمعت محمد بن المنذر، سمعت عباس بن محمد، سمعت يحيى بن معين يقول: الواقد ليس بشيء

(2) Dan Ibn Hibban berkata: Aku mendengar Muhammad bin al-Mundzir, aku mendengar ‘Abbas bin Muhammad, aku mendengar Yahya bin Ma’in mengatakan, “Al-Waqidi itu tidak ada apa-apanya.”

 

وقال: أخبرني محمد بن عبد الرحمن، سمعت أبا غالب ابن بنت معاوية بن عمرو، سمعت علي ابن المديني يقول: الواقدى يضع الحديث

قلت: وهذا الذي أخرجناه بسنده عن ابن حبان في قول يحيى بن معين وعلي ابن المديني لتوثيق ما نقلناه من قول الإمام الذهبى عنهما بلا سند

 

(3) Dan Ibn Hibban berkata: Telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin ‘Abdurrahman, aku mendengar Abu Ghalib ibn binti Mu’awiyah bin ‘Amr, aku mendengar ‘Ali ibn al-Madini mengatakan, “Al-Waqidi memalsukan hadits.”

Aku katakan, inilah takhrij kami dengan sanadnya dari Ibn Hibban mengenai ucapan Yahya bin Ma’in dan ‘Ali ibn al-Madini. Dengan demikian semakin kuatlah apa yang telah kami nukil dari ucapan Imam adz-Dzahabi yang disampaikan tanpa sanad tentang pen-dha’if-an al-Waqidi oleh Yahya bin Ma’in dan ‘Ali ibn al-Madini.

 

قلت: وقال البخارى في التاريخ الكبير (١/١۷۸/٥٤٣): محمد بن عمر الواقدي مدني، قاضى بغداد، عن معمر ومالك، سكتوا عنه، تركه أحمد وابن نمير، مات سنة سبع ومائتين أو بعدها بقليل

قلت: وهذا توثيق لما نقلناه عن الإمام الذهبى من قول البخارى في الواقدى: سكتوا عنه

 

Aku katakan, al-Bukhari berkata di kitab at-Tarikh al-Kabir (1/178/543): Muhammad bin ‘Umar al-Waqidi, orang Madinah dan menjadi hakim di Bagdad, dia meriwayatkan dari Ma’mar dan Malik, mereka diam darinya (para ulama mendiamkannya), sedangkan Ahmad dan Ibn Numair meninggalkan riwayat al-Waqidi. Dia wafat pada tahun 207 Hijriyah atau setelahnya tidak terlalu jauh dari tahun itu.

Aku katakan, (nukilan) ini merupakan peneguh atas nukilan yang telah kami kemukakan dari Imam adz-Dzahabi tentang ucapan al-Bukhari mengenai al-Waqidi, “Mereka diam darinya.”

 

وهذا المصطلح له معناه، يحسبه البعض هيناً، وهو عند أهل الفن عظيم. فقد أورد السيوطي في التدريب (١/٣٤۹) تحت تنبهات حيث قال: البخاري يطلق: فيه نظر، وسكتوا عنه. فيمن تركوا حديثه، ويطلق: منكر الحديث. على من لا تحل الرواية عنه.

 

Dan istilah tersebut memiliki pengertian tersendiri bagi al-Bukhari -sebagian orang menganggap remeh hal itu padahal menurut para ulama hadits sangatlah penting. Imam as-Suyuthi telah menyebutkan di kitab at-Tadrib (1/349) pada bagian tanbihat (peringatan) dengan mengatakan: ucapan al-Bukhari, “Fihi nazhar (pada dirinya ada pertimbangan),” dan, “Sakatu ‘anhu (mereka diam darinya),” digunakan untuk perawi yang haditsnya ditinggalkan, sedangkan ucapan al-Bukhari, “Munkar al-hadits,” digunakan untuk perawi yang tidak boleh diambil riwayatnya.

 

قلت: ولقد أورده الإمام النسائي في الضعفاء والمتروكين برقم (٥٣١)، وقال: محمد بن عمر الواقدى متروك الحديث

قلت: وهذا توثيق أيضأً لما نقلناه عن الإمام الذهبى. وهذا المصطلح له معناه عند الإمام النسائي، حيث قال الحافظ ابن حجر في شرح النخبة: مذهب النسائي أن لا يترك حديث الرجل حتى يجتمع الجميع على تركه

 

Aku katakan, al-Imam an-Nasa-i telah menyebutkan di kitab adh-Dhu’afa’ wa al-Matrukin pada nomor (531) dengan mengatakan, “Muhammad bin ‘Umar al-Waqidi matruk al-hadits (haditsnya ditinggalkan).”

Aku katakan, ini juga merupakan peneguhan atas hal yang telah kami nukil dari al-Imam adz-Dzahabi, dan istilah ini memiliki pengertian tersendiri bagi al-Imam an-Nasa-i sebagaimana yang telah dikatakan oleh al-Hafizh Ibn Hajar di kitab Syarh an-Nukhbah, “Imam an-Nasa-i berpendapat bahwa seorang perawi tidaklah ditinggalkan haditsnya sampai semua ulama sepakat untuk meninggalkannya.”

 

KAIDAH PENTING

 

هذا الطريق لا يصلح للمتابعات ولا الشواهد، بل يزيد القضة وهناً على وهن. فقد قال الحافظ ابن كثير في اختصار علوم الحديث ص (٣٣): قال الشيخ أبو عمرو: لا يلزم من ورود الحديث من طرق متعددة أن يكون حسناً، لأن الضعف يتفاوت، فمنه ما لا يزول بالمتابعات، يعنى لا يؤثر كونه تابعاً أو متبوعاً، كرواية الكذابين والمتروكين

 

Jalur periwayatan ini (jalur al-Waqidi) tidak bisa dijadikan sebagai mutabi’at maupun syawahid, bahkan malah merupakan tambahan kisah yang sangat lemah. Al-Hafizh Ibn Katsir telah berkata di kitab Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits (halaman 33): Syaikh Abu ‘Amr mengatakan, “Adanya periwayatan dari beberapa jalur lain tidaklah selalu mengharuskan suatu hadits menjadi hasan. Hal itu dikarenakan tingkat kelemahan hadits itu berbeda-beda, sebagian di antaranya ada yang tingkat kelemahannya tidak bisa hilang dengan keberadaan mutabi’at, yakni baik itu hadits tabi’ maupun hadits matbu’, keduanya sama-sama tidak berpengaruh, sebagaimana halnya riwayat dari para perawi dusta dan matruk.”

 

قلت: وقد ذكرت هذه القاعدة حتى لا يتقول علينا متقول ممن لا دراية له بتحليل طرق القصة، ويقول: إن للقصة متابعات وشواهد جاءت بطرق يقوِّي بعضها بعضا.

 

Aku katakan, telah kusebutkan kaidah ini agar orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang jalur periwayatan kisah ini tidak berbuat kebohongan terhadap kami dengan mengatakan, “Sesungguhnya kisah ini memiliki mutabi’at dan syawahid dengan jalur-jalur periwayatan yang saling menguatkan satu sama lain.”

 

(فائدة): مما أوردناه آنفا يتبين أن القصة أخرجها أيضاً ابن سعد، ومدارها على الواقدى، وهو كذاب، وقال الشيخ الألباني –رحمه الله- في كتابه الرد على جهالات البوطي في فقه السيرة ص (٤٠): وللقصة عند أبى نعيم طريقان آخران، مدارهما على الواقدى، وهو كذاب، أحدهما عن شيخه موسى بن شيبة وهو لين الحديث، كما قال الحافظ في التقريب. والأخرى عن عبد الصمد بن محمد السعدى عن أبيه عن جده قال: حدثني بعض من كان يرعى غنم حليمة … وهؤلاء مجهولون.

 

(Faidah): apa yang kami kemukakan di atas menjelaskan bahwa kisah tersebut dikeluarkan juga oleh Ibn Sa’d dengan poros periwayatan al-Waqidi, dan al-Waqidi ini seorang pendusta. Syaikh al-Albani –rahimahullah– berkata dalam kitabnya ar-Radd ‘ala Jahalat al-Buthi fi Fiqh as-Sirah (40) sebagai berikut:

… dan di sisi Abu Nu’aim, kisah tersebut memiliki dua jalan periwayatan yang berporos pada al-Waqidi, dan al-Waqidi itu seorang pendusta. Jalan periwayatan pertama diterima dari gurunya, yaitu Musa bin Syaibah, dan Musa bin Syaibah itu layyin al-hadits (perawi lunak/lemah) sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hafizh di kitab at-Taqrib. Adapun jalan periwayatan kedua, diterima dari ‘Abd ash-Shamad bin Muhammad, dari ayahnya, dari kakeknya yang mengatakan, “Telah mengabarkan kepadaku beberapa orang penggembala kambing Halimah …,” dan mereka itu majhul semua.

 

قلت: بهذا يتبين أن القصة واهية، وأن طرقها الأخرى تزيدها وهناً على وهن.

 

Aku berkata, “Dengan ini jelaslah bahwa kisah (Halimah as-Sa’diyah) tersebut lemah, dan bahwasanya jalan-jalan periwayatan lainnya pun hanya menambah kelemahan lainnya.”

 

Bandung, 22 Desember 2012

–HENDRA WIBAWA IBN TATO WANGSA WIDJAJA–

37 comments on “Kerapuhan Penuturan Tentang Kisah Halimah as-Sa’diyah …

  1. matahari_terbit says:

    pertamax duluuuu…. hahaha

    *baru baca yang atas =D

  2. matahari_terbit says:

    seharian ini menjumpai kata matruk rasanya bergidik..

    dihukumi matruk uleh para ulama.. jadi jelas harus ditinggalkan

  3. matahari_terbit says:

    kalo syawahid tadi dah dikasi tau.. trus mutabi’at apaan bang?

  4. matahari_terbit says:

    ucapan al-Bukhari, “Fihi nazhar (pada dirinya ada pertimbangan),” dan, “Sakatu ‘anhu (mereka diam darinya),” digunakan untuk perawi yang haditsnya ditinggalkan, sedangkan ucapan al-Bukhari, “Munkar al-hadits,” digunakan untuk perawi yang tidak boleh diambil riwayatnya.

    woooh.. begituuuu yaa.. aiih.. diamnya pun begitu bermakna

    • tipongtuktuk says:

      iya, al-Bukhari -rahimahullah- … amirul mukminin di bidang hadits … he he he …

      • matahari_terbit says:

        eh,bentar.. kalo imam bukhari amirul mukminin dalam bidang hadits..
        abdullah bin mubarak apa dunk bang istilahnya?

        koq pernah denger amirul mukminin juga tapi apa gitu.. keknya hadits juga.. ato fajar salah denger ya?

      • tipongtuktuk says:

        ya, Sufyan ats-Tsauri juga kadang disebut begitu kalau tidak salah …
        kayak al-Hafizh maupun Syaikh al-Islam, banyak ulama yang menyandang predikat seperti itu …

  5. matahari_terbit says:

    itu kenapa yang jalur periwayatan yang lain ntu kagak sekalian dibold hal2 yang pentingnya bang? eheheehe..

    yang pertama bikin lebih ngeh karena di bold..
    hihihi..
    dah keburu diposting yak? qeqe

  6. Novi Kurnia says:

    1. Tadlis itu artinya apa?
    2. Jadi Nabi shalallahu alaihi wasallam pernah disusui ibu susu atau tidak?
    3. Jika penduduk Mekah pada waktu itu biasa menyerahkan anaknya pada ibu susu, lalu ibu kandungnya yang baru melahirkan ngapain? Kenapa mereka tidak menyusui sendiri anaknya?
    4. Fotonya pake kamera DSLR?

    • tipongtuktuk says:

      1. tadlis itu artinya menyembunyikan/menyamarkan/menipu …
      misalnya dia menerima hadits dari gurunya, lalu dia menyembunyikan atau menghilangkan gurunya dari rangkaian sanad karena gurunya itu memang dha’if …

      2. iya, sejauh pengetahuan saya, para ulama menyebutkan bahwa nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah disusui oleh beberapa ibu susu, termasuk Halimah as-Sa’diyah. Tulisan ini hanya menjelaskan bahwa kisah di atas itu lemah) …

      3. Kata para ulama, hikmah disusukan kepada para ibu susu itu agar si anak bisa menyerap kemampuan bahasa Arab yang masih murni dari kabilah-kabilah Arab … wallahu a’lamu …

      4. itu kamera pakai kamera pocket … he he he …

  7. thetrueideas says:

    sangat berfaedah!

  8. aku masih tertinggal dari kisah ini

  9. […] Kerapuhan Penuturan Tentang Kisah Halimah as-Sa’diyah … […]

Leave a comment