Senator Iblis …

senator iblis

Berikut ini salah satu kisah yang rapuh berkaitan dengan peristiwa hijrah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dan kaum muslimin. Katanya, Iblis -yang mewujud lelaki tua dari Najd – ikut serta bermusyawarah di ad-Dar an-Nadwah bersama kaum musyrikin Quraisy untuk membendung dan mencelakai Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam

 

*

**

الشيخ علي حشيش المصري

Syaikh ‘Ali Hasyisy al-Mishri –hafizhahullah

Dari kitab: al-Qashash al-Wahiyah (109-117)

 

أولاً: متن القصة

 

MATAN (REDAKSI KISAH)

 

رُوِيَ عن ابن عباس قال: «لما عرفت قريش أن رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم قد كانت له شيعة وأصحاب من غير بلدهم ورأوا خروج أصحابه من المهاجرين إليهم، عرفوا أنهم قد نزلوا دارًا أصابوا منهم منعة فحذروا خروج رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم، فاجتمعوا له في دار الندوة وهي دار قصي بن كلاب التي كانت قريش لا تقضي أمرًا إلا فيها فيتشاورون فيها ما يصنعون من أمر رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم حين خافوه، فلما اجتمعوا لذلك، في ذلك اليوم الذي اتعدوا له، وكان ذلك اليوم يسمى يوم الزحمة، اعترض لهم إبليس في هيئة رجل شيخ جليل عليه بت- يعني كساء غليظ من صوف أو وبر- فوقف على باب الدار فلما رأوه واقفًا على بابها، قالوا: من الشيخ؟ قال: شيخ من أهل نجدٍ، سمع بالذي اتعدتم له فحضر معكم ليسمع ما تقولون، وعسى أن لا يعدمكم منه رأيًا ونصحًا، قالوا: أجل، فادخل، فدخل معهم، وقد اجتمع فيها أشراف قريش من كل قبيلة: من بني عبد شمس: عتبة وشيبة ابنا ربيعة وأبو سفيان بن حرب، ومن بني نوفل بن عبد مناف: طعيمة بن عدي، وجبير بن مطعم، والحارث بن عامر بن نوفل، ومن بني عبد الدار بن قصي: النضر بن الحارث بن كلدة، ومن بني أسد بن عبد العزى: أبو البختري بن هشام، وزمعة بن الأسود بن المطلب، وحكيم بن حزام، ومن بني مخزوم: أبو جهل بن هشام، ومن بني سهم: نبيه ومنبه ابنا الحجاج، ومن بني جمح: أمية بن خلف، ومن كان معهم، وغيرهم ممن لا يعد من قريش، فقال بعضهم لبعض: إن هذا الرجل قد كان من أمره ما قد رأيتم، فإنا والله ما نأمنه على الوثوب علينا فيمن قد اتبعه من غيرنا فأجمعوا فيه رأيًا، قال: فتشاوروا ثم قال قائل منهم: احبسوه في الحديد، وأغلقوا عليه بابًا، ثم تربصوا ما أصاب أشباهه من الشعراء الذين كانوا قبله زهيرًا والنابغة ومن مضى منهم من هذا الموت، حتى يصيبه ما أصابهم.
١- فقال الشيخ النجدي: لا والله ما هذا لكم برأي، والله لئن حبستموه كما تقولون ليخرجن أمره من وراء الباب الذي أغلقتم دونه إلى أصحابه فلأوشكوا أن يثبوا عليكم فينتزعوه من أيديكم، ثم يكاثروكم به حتى يغلبوكم على أمركم، ما هذا لكم برأي، فانظروا في غيره فتشاوروا عليه. ثم قال قائل منهم: نخرجه من بين أظهرنا فننفيه من بلادنا، فإذا أخرج عنا فوالله ما نبالي أين ذهب ولا حيث وقع إذا غاب عنا وفرغنا منه، فأصلحنا أمرنا.

۲- قال الشيخ النجدي: لا والله ما هذا لكم برأي، ألم تروا حسن حديثه، وحلاوة منطقه، وغلبته على قلوب الرجال بما يأتي به؟ والله لئن فعلتم ذلك ما أمنتم أن يحل على حي من العرب فيغلب عليهم بذلك من قوله وحديثه حتى يتابعوه عليه، ثم يسير بهم إليكم حتى يطأكم في بلادكم بهم فيأخذ أمركم من أيديكم ثم يفعل بكم ما أراد، دبروا فيه أمرًا غير هذا.

قال أبو جهل بن هشام: والله إن لي فيه لرأيًا ما أراكم وقعتم عليه بعد، قالوا: وما هو يا أبا الحكم؟ قال: أرى أن نأخذ من كل قبيلة شابًا فتى جلدًا نسيبًا وسيطًا فينا، ثم نعطي كل فتى منهم سيفًا صارمًا، ثم يعمدوا عليه فيضربوه ضربة رجل واحد فيقتلوه فنستريح منه، فإنهم إن فعلوا ذلك تفرق دمه- يعني الدية، وهي المال الذي يُعطى لولي القتيل- فعقلناه لهم.

٣- قال الشيخ النجدي: القول ما قال الرجل، هذا الرأي، لا أرى غيره.
فتفرق القوم على هذا وهم مجمعون له». اهـ.

 

Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas, dia berkata:

Tatkala kaum Quraisy mengetahui bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– telah memiliki pengikut dan shahabat yang berasal dari negeri selain negeri mereka (yakni dari luar Mekah), juga melihat bahwa para shahabat beliau dari kalangan Muhajirin itu pada keluar untuk bergabung dengan (pengikut beliau dari kalangan luar Mekah), sadarlah kaum Quraisy bahwa para Muhajirin itu hendak menyusun kekuatan di sana. Maka kaum Quraisy pun mewaspadakan keluarnya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- itu, lalu berkumpul untuk membicarakan hal tersebut di Dar an-Nadwah, yaitu rumah milik Qushai bin Kilab, sebuah tempat yang tidaklah kaum Quraisy memutuskan suatu perkara kecuali (mestilah keputusan itu dibuat) di situ. Lantas kaum Quraisy pun bermusyawarah di sana (untuk membicarakan) hal yang harus mereka perbuat terkait urusan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– yang (membuat) mereka khawatir. Tatkala kaum Quraisy itu hendak berkumpul untuk membicarakan hal tersebut -pada hari yang telah dijanjikan, yaitu pada hari yang disebut dengan yaum az-zahmah (hari berkumpul karena sesuatu hal)- tiba-tiba mereka dihadang oleh Iblis dalam rupa seorang lelaki tua berkain tebal –yakni pakaian tebal dari bahan wol atau bulu- yang berdiri di pintu Dar an-Nadwah. Melihat lelaki tua itu berdiri di sana, kaum Quraisy pun berkata, “Siapakah Syaikh ini?” Dia menjawab, “Syaikh dari kalangan penduduk Najd yang mendengar janji pertemuan kalian dan sengaja hadir bersama kalian untuk mendengar apa yang akan kalian bicarakan. Barangkali saja dia bisa memberikan pendapat dan saran untuk kalian.” Mereka berkata, “Ya, baiklah. Ayo masuk kalau begitu.” Maka Iblis pun ikut masuk bersama mereka. (Di tempat itu) berkumpullah orang-orang terpandang Quraisy dari setiap kabilah, di antaranya adalah:

– perwakilan dari Bani ‘Abd asy-Syams: ‘Utbah bin Rabi’ah dan Syaibah bin Rabi’ah -keduanya putra dari Rabi’ah, dan Abu Sufyan bin Harb.

– perwakilan dari Bani Naufal bin ‘Abd Manaf: Thu’aimah bin ‘Adi, Jubair bin Muth’im, dan al-Harits bin ‘Amir bin Naufal.

– perwakilan dari Bani ‘Abd ad-Dar bin Qushai: an-Nadhr bin al-Harits bin Kaldah.

– perwakilan dari Bani Asad bin ‘Abd al-‘Uzza: Abu al-Bakhtari bin Hisyam, Zam’ah bin al-Aswad bin al-Muththalib, dan Hakim bin Hizam.

– perwakilan dari Bani Makhzum: Abu Jahl bin Hisyam.

– perwakilan dari Bani Sahm: Nubaih bin al-Hajjaj dan Munabbih bin al-Hajjaj –keduanya putra al-Hajjaj.

– perwakilan dari Bani Jumah: Umayyah bin Khalaf.

Hadir pula kabilah Quraisy lain bersama mereka, juga orang-orang dari kabilah lain yang tidak termasuk kalangan Quraisy. Lalu berkatalah yang satu kepada yang lainnya, “Sesungguhnya orang ini (yakni Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah kalian ketahui sendiri perkaranya. Demi Allah, kita tidak merasa aman darinya, dari serangan para pengikutnya yang berasal dari luar kalangan kita. Maka kemukakanlah pendapat kalian!” Maka mereka pun bermusyawarah, kemudian salah seorang di antara mereka berkata, “Kurung saja dia dalam penjara besi yang terkunci kemudian kalian tinggal menanti (bencana) yang akan menimpanya sebagaimana dulu telah menimpa orang semacam dia dari kalangan penyair sebelumnya, Zuhair, an-Nabighah, dan para penyair lain yang mati dengan kematian seperti itu. (Tunggulah) hingga menimpanya apa yang telah menimpa mereka.”

(1) Maka Syaikh dari Najd itu berkata, “Tidak, demi Allah! Itu bukan pendapat yang tepat untuk kalian! Demi Allah, sungguh pun jika kalian memenjarakannya sebagaimana yang kalian katakan, niscaya dia akan mengeluarkan perintahnya dari balik pintu yang kalian kunci kepada para shahabatnya sehingga niscaya mereka segera menyerang kalian dan melepaskannya dari tangan-tangan kalian dan melawan kalian hingga berhasil mengalahkan kalian. Itu bukan pendapat yang tepat untuk kalian! Carilah pendapat lainnya dan musyawarahkanlah!”

Seseorang dari mereka mengusulkan, “Keluarkan saja dia dari tengah-tengah kita lalu buang dia dari negeri kita. Apabila dia telah keluar dari tengah-tengah kita, maka demi Allah kita tidak peduli lagi ke mana dia pergi, tidak juga kita peduli di mana dia berada. Jika dia tak ada di antara kita, selesailah urusan kita dengannya, lalu kita perbaiki lagi urusan kita.”

(2) Syaikh dari Najd itu berkata, “Tidak, demi Allah! Itu bukan pendapat yang tepat untuk kalian! Tidakkah kalian tahu ucapannya yang indah dan tutur katanya yang manis. Dia bisa menguasai orang-orang dengan apa yang disampaikannya. Demi Allah, sungguh jika kalian melakukan hal itu, tidaklah kalian akan aman ketika dia mendiami suatu kampung Arab lalu (memengaruhi dan) menguasai mereka dengan ucapan dan tutur katanya hingga penduduknya menjadi pengikutnya, kemudian dia mengajak mereka untuk mendatangi kalian dan menginjak-injak kalian di negeri kalian, merebut kekuasaan kalian dari tangan-tangan kalian, dan memperlakukan kalian sesuai keinginannya. Pikirkanlah pendapat lain!”

Abu Jahl bin Hisyam berkata, “Demi Allah, sungguh dalam hal ini aku punya pendapat yang tak kalian pikirkan, dan kalian akan menyetujuinya setelah kukemukakan.” Mereka pun bertanya, “Memangnya bagaimana pendapatmu, wahai Abu al-Hakam?” Abu Jahl bin Hisyam menjawab, “Aku berpendapat, kita ambil dari setiap kabilah seorang pemuda yang kuat dan bernasab luhur untuk mewakili kita. Setiap pemuda itu kita persenjatai dengan pedang yang tajam lalu (kita suruh) para pemuda itu untuk mendatanginya, masing-masing pemuda memukul dengan pedangnya dan membunuhnya. Kita pun bisa beristirahat darinya karena jika para pemuda itu bersama-sama melakukannya, maka akan terbagilah (tuntutan) atas darahnya (kepada semua kabilah) –yakni diyat berupa harta yang diberikan kepada wali yang terbunuh- lalu kita (sama-sama) bayar diyatnya.”

(3) Syaikh dari Najd itu berkata, “Ucapan orang ini merupakan usul yang baik. Aku tidak melihat ada pendapat lain (yang lebih baik).”

Akhirnya mereka bubar dengan bersepakat di atas pendapat (Abu Jahl) tersebut.

 

قلت: يتبين من متن القصة أن إبليس تولى التحكيم في دار الندوة، ولم ينازعه أحد من أشراف قريش، وقد كانوا من كل قبائلها، وكان في هيئة رجل شيخ جليل من أهل نجد عليه كساء غليظ من الصوف.

 

Aku katakan, redaksi kisah ini memberikan penjelasan bahwa Iblis mendominasi tahkim di Dar an-Nadwah tanpa ada seorang pun orang terpandang Quraisy dari tiap kabilah yang menentangnya; dan bahwasanya Iblis mewujud dalam rupa seorang lelaki lanjut usia dari kalangan penduduk Najd, dan dia berpakaian dari kain wol yang tebal.

 

ثانيًا: التخريج

 

TAKHRIJ (SUMBER PEMBERITAAN KISAH)

 

الحديث الذي جاءت به هذه القصة أخرجه أبو نعيم في «دلائل النبوة» (ص٦٣- ٦٤)، والطبري في «تفسيره» (٦/۲٥١، ۲٥۲ح ١٥٩۷٩)، والبيهقي في «دلائل النبوة» (۲/٤٦٦- ٤٦۸)، وابن أبي حاتم في «التفسير» (٥/١٦۸٦) (ح١٩٩٤)، وابن سعد في «الطبقات» (١/١۰٩).

 

Hadits dengan kisah tersebut dikeluarkan oleh Abu Nu’aim di kitab Dala-il an-Nubuwwah (63-64), ath-Thabarani di dalam tafsirnya (6/251-252; 15979), al-Baihaqi di kitab Dala-il an-Nubuwwah (2/466-467), Ibn Abi Hatim di kitab at-Tafsir (5/1686; 1994), dan Ibn Sa’d di kitab ath-Thabaqat (1/109).

 

ثالثًا: التحقيق

 

TAHQIQ (PENELITIAN ATAS VALIDITAS KISAH)

 

القصة واهية، وأسانيدها لا تصح، تزداد بها وهنًا على وهن.

 

Kisah tersebut rapuh, tidak sahih sanad-sanadnya dan malah menambah kelemahan di atas kelemahan.

 

١- قال ابن سعد في «الطبقات»: أخبرنا محمد بن عمر.

أ- قال: حدثني معمر عن الزهري عن عروة عن عائشة.

ب- قال: وحدثني ابن أبي حبيبة عن داود بن الحصين بن أبي غطفان عن ابن عباس.

جـ- قال: وحدثني قدامة ابن موسى عن عائشة بنت قدامة.

د- قال: وحدثني عبد الله بن محمد بن عمر بن علي بن أبي طالب عن أبيه عن عبيد الله بن أبي رافع عن علي.

هـ- قال: وحدثني معمر عن الزهري عن عبد الرحمن بن مالك بن جُعْشم عن سراقة بن جعشم.

 

PERTAMA: Ibn Sa’d berkata di kitab ath-Thabaqat, “Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Umar.”

(a) Muhammad bin ‘Umar berkata: telah menceritakan kepadaku Ma’mar dari az-Zuhri dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah.

(b) Muhammad bin ‘Umar berkata: dan telah menceritakan kepadaku Ibn Abi Habibah dari Dawud bin al-Hushain bin Abi Ghathafan dari Ibn ‘Abbas.

(3) Muhammad bin ‘Umar berkata: dan telah menceritakan kepadaku Qudamah bin Musa dari ‘Aisyah binti Qudamah.

(4) Muhammad bin ‘Umar berkata: dan telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali bin Abi Thalib dari ayahnya dari ‘Abdullah bin Abi Rafi’ dari ‘Ali.

(5) Muhammad bin ‘Umar berkata: dan telah menceritakan kepadaku Ma’mar dari az-Zuhri dari ‘Abd ar-Rahman bin Malik bin Ju’syum dari Suraqah bin Ju’syum.

 

قلت: بهذا يتبين أن ابن سعد أخرج القصة في طبقاته عن: عائشة، وابن عباس وعائشة بنت قدامة، وعلي، وسراقه بن جعشم، ولكن من رواية محمد بن عمر وهو الواقدي.

 

Aku katakan, dengan ini jelaslah bahwa Ibn Sa’d di dalam Thabaqat-nya mengeluarkan kisah ini dari: ‘Aisyah, Ibn ‘Abbas, ‘Aisyah binti Qudamah, ‘Ali, dan Suraqah bin Ju’syum. Akan tetapi (semuanya) dari riwayat Muhammad bin ‘Umar yang tidak lain adalah al-Waqidi.

 

قال الإمام ابن حبان في «المجروحين» (۲/۲٩۰): محمد بن عمر بن واقد الواقدي الأسلمي المدني، كان ممن يحفظ أيام الناس وسيرهم، وكان يروي عن الثقات المقلوبات وعن الأثبات المعضلات حتى ربما سبق إلى القلب أنه كان المتعمد لذلك، كان أحمد بن حنبل يكذبه.

ثم قال: سمعت محمد بن المنذر، سمعت عباس بن محمد: سمعت يحيى بن معين يقول: الواقدي ليس بشيء.

ثم قال: أخبرني محمد بن عبد الرحمن: سمعت أبا غالب بن بنت معاوية بن عمرو: سمعت علي بن المديني يقول: الواقدي يضع الحديث. اهـ.

 

Imam Ibn Hibban berkata di kitab al-Majruhin (2/290), “Muhammad bin ‘Umar bin Waqid al-Waqidi al-Aslami al-Madani, dia termasuk salah seorang penulis sejarah, dan dia mencampurbaurkan riwayat dari orang-orang tepercaya serta meriwayatkan secara mu’dhal (gugur sanad) dari orang-orang yang jujur, sampai-sampai tertanam dalam hati bahwa al-Waqidi memang senantiasa melakukan hal seperti itu, makanya Ahmad bin Hanbal menganggapnya pendusta.

Kemudian Ibn Hibban mengatakan: aku mendengar Muhammad bin al-Mundzir, aku mendengar ‘Abbas bin Muhammad, aku mendengar Yahya bin Ma’in mengatakan, “Al-Waqidi itu tidak ada apa-apanya.”

Kemudian Ibn Hibban juga berkata: telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin ‘Abd ar-Rahman, aku mendengar Abu Ghalib ibn binti Mu’awiyah bin ‘Amr, aku mendengar ‘Ali bin al-Madini mengatakan, “Al-Waqidi memalsukan hadits.”

 

قلت: وأورده الإمام البخاري في «الضعفاء الصغير» ترجمة (٣٣٤) وقال: «محمد بن عمر الواقدي متروك الحديث». اهـ.

 

Aku katakan, Imam al-Bukhari menyebutkannya di kitab adh-Dhu’afa’ ash-Shaghir pada tarjamah (334) dengan mengatakan, “Muhammad bin ‘Umar al-Waqidi matruk al-hadits.”

 

وأورده الإمام النسائي في «الضعفاء والمتروكين» ترجمة (٥٣١) وقال: «محمد بن عمر الواقدي، متروك الحديث».

 

Imam an-Nasa’i juga menyebutkannya di kitab adh-Dhu’afa’ wa al-Matrukin pada tarjamah (531) dengan mengatakan, “Muhammad bin ‘Umar al-Waqidi matruk al-hadits.”

 

قلت: وهذا المصطلح عند النسائي له معناه حيث قال الحافظ ابن حجر في «شرح النخبة» باب (٦۸) مراتب الجرح: «كان مذهب النسائي أن لا يترك حديث الرجل حتى يجتمع الجميع على تركه».

 

Aku katakan, istilah ini (yakni matruk al-haditspent) memiliki pengertian tersendiri menurut Imam an-Nasa’i sebagaimana yang telah dikatakan oleh al-Hafizh Ibn Hajar di kitab Syarh an-Nukhbah, bab (68) maratib Jarh, “Imam an-Nasa-i berpendapat bahwa seorang perawi tidaklah ditinggalkan haditsnya sampai semua ulama sepakat untuk meninggalkannya.”

 

۲- قال أبو نعيم في «دلائل النبوة»: حدثنا حبيب بن الحسن، قال: حدثنا محمد بن يحيى المروزي، قال: حدثنا أحمد بن محمد بن أيوب، قال: حدثنا إبراهيم بن سعد عن محمد بن إسحاق عمن لا يتهم من أصحابنا عن عبد الله بن أبي نجيح عن مجاهد أبي الحجاج عن ابن عباس رضي الله عنهما.

وحدثنا سليمان بن أحمد، قال: حدثنا محمد بن أحمد بن البراء، قال: حدثنا الفضل بن غانم، قال: حدثنا سلمة بن الفضل، عن محمد بن إسحاق قال: حدثني عبد الله بن أبي نجيح عن مجاهد بن جبر المكي عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما.

قال: وحدثنا محمد بن إسحاق، حدثنا الكلبي عن أبي صالح عن ابن عباس رضي الله عنهما.

 

KEDUA: Abu Nu’aim berkata di kitab Dala-il an-Nubuwwah: telah menceritakan kepadaku Hubaib bin al-Hasan, dia berkata: telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya al-Marwazi, dia berkata: telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Ayyub, dia berkat: telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’d dari Muhammad bin Ishaq dari seseorang yang tak tertuduh dari kalangan sahabat kami dari ‘Abdullah bin Abi Najih dari Mujahid Abu al-Hajjaj dari Ibn ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma.

Dan telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Ahmad, dia berkata: telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin al-Bara’, dia berkata: telah menceritakan kepada kami al-Fadhl bin Ghanim, dia berkata: telah menceritakan kepadaku Salamah bin al-Fadhl, dari Muhammad bin Ishaq, dia berkata: telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Abi Najih dari Mujahid bin Jabr al-Maki dari ‘Abdullah bin ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma.

Dia berkata: dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq, telah menceritakan kepada kami al-Kalbi dari Abu Shalih dari Ibn ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma.

 

قلت: بهذا يتبين أن أبا نعيم أخرج القصة في «دلائل النبوة» من ثلاثة طرق عن ابن عباس رضي الله عنهما.

 

Aku katakan, dengan ini jelaslah bahwa Abu Nu’aim mengeluarkan kisah tersebut di kitab Dala-il an-Nubuwwah melalui tiga jalur periwayatan dari Ibn ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma.

 

الطريق الأول فيه علتان:

 

Jalur pertama mengandung dua penyakit, yaitu:

 

الأولى: تدليس محمد بن إسحاق.

فقد أورده الحافظ ابن حجر في «طبقات المدلسين» في الطبقة الرابعة رقم (٩) وقال: «محمد بن إسحاق بن يسار المطلبي المدني صاحب المغازي مشهور بالتدليس عن الضعفاء والمجهولين وعن شر منهم، وصفه بالتدليس ابن حبان». اهـ.

قلت: حكم رواية أصحاب هذه الطبقة: قال الحافظ ابن حجر في مقدمة كتاب «طبقات المدلسين»: «الرابعة: من اتفق على أنه لا يُحتج بشيء من حديثهم إلا بما صرحوا فيه بالسماع لكثرة تدليسهم على الضعفاء والمجاهيل.»

قلت: وابن إسحاق في هذا الطريق عنعن ولم يصرح بالسماع.

 

(1) Tadlis Muhammad bin Ishaq.

Al-Hafizh Ibn Hajar telah menyebutkannya di kitab Thabaqat al-Mudallisin, pada thabaqah keempat nomor (9) dengan mengatakan, “Muhammad bin Ishaq bin Yasar al-Muththalibi al-Madani, penulis al-Maghazi, terkenal melakukan tadlis dari para perawi lemah, majhul, dan dari yang buruk dari mereka. Ibn Hibban memerikannya dengan tadlis.”

Aku katakan, mengenai riwayat yang berasal dari perawi pada thabaqah ini, dikatakan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam mukadimah kitab Thabaqat al-Mudallisin sebagai berikut, “Thabaqah keempat: termasuk yang disepakati bahwasanya hadits mereka tidak bisa dijadikan hujjah kecuali jika mereka menjelaskan tentang penyimakan dalam riwayat tersebut –hal itu dikarenakan seringnya mereka melakukan tadlis dari perawi-perawi lemah dan majhul.”

Aku katakan, Ibnu Ishaq dalam jalur ini meriwayatkan secara ‘an’anah tanpa menegaskan penyimakan.

 

الثانية: جهالة شيخ ابن إسحاق

يتبين ذلك من السند: «عن محمد بن إسحاق عن من لا يتهم من أصحابنا»، وهذا النوع من أنواع المجهول يسمى «المبهم» وهو من لم يصرح باسمه «ومبهم ما فيه راوٍ لم يُسم»، ومن أبهم اسمه، جهلت عينه وجهلت عدالته من باب أولى، فلا تقبل روايته.
وكما بينا آنفًا من أقوال أئمة الجرح والتعديل: أن ابن إسحاق مشهور بالتدليس عن الضعفاء والمجهولين وعن شر منهم.

قلت: ولذلك نقل الحافظ ابن حجر في «التهذيب» (٩/٣٦) عن يعقوب بن شيبة قال: سمعت ابن نمير يقول: «إنما أُتِيَ- يعني ابن إسحاق- من أنه يحدث عن المجهولين أحاديث باطلة». اهـ.

قلت: وهذه القصة منها حيث حَدَّثَ فيها عن مجهولين فهي باطلة كما بينا آنفًا.

 

(2) ke-majhul-an Syaikh-nya Ibn Ishaq.

Dari sanadnya jelas terlihat, “Dari Muhammad bin Ishaq dari seseorang yang tak tertuduh dari kalangan sahabat kami.” Ke-majhul-an semacam ini disebut mubham, yaitu seorang perawi yang tidak disebutkan namanya, “Dan mubham itu sanad yang di dalamnya terdapat perawi yang tidak disebut namanya.” Kalau namanya disamarkan, tentu tidak akan diketahui perihalnya, apalagi keadilannya sehingga riwayatnya pun tidak diterima. Juga sebagaimana telah kami jelaskan di atas mengenai ucapan para ulama al-Jarh wa at-Ta’dil, “Bahwa Ibn Ishaq terkenal melakukan tadlis dari para perawi lemah, majhul, dan dari yang buruk dari mereka.”

Aku katakan, mengenai hal itu Ibn Hajar telah menukil di kitab at-Tahdzib (9/36) dari Ya’qub bin Syaibah, dia berkata: aku mendengar Ibn Numair mengatakan, “Hadits-hadit batil Ibn Ishaq hanyalah hadits-hadits yang diriwayatkannya dari para perawi majhul.”

Aku katakan, dan kisah ini termasuk yang diriwayatkan oleh Ibn Ishaq dari perawi majhul sehingga haditsnya pun batil sebagaimana kami jelaskan barusan.

 

الطريق الثاني: وفيه علتان أيضًا:

 

Jalur kedua juga mengandung dua penyakit, yaitu:

 

العلة الأولى: سلمة بن الفضل:

أ- قال الإمام البخاري في كتاب «الضعفاء الصغير» رقم (١٤٩): «سلمة بن الفضل بن الأبرش سمع ابن إسحاق، عنده مناكير وفيه نظر». اهـ.

قلت: وهذا المصطلح عند البخاري له معناه، يظهر هذا من قول السيوطي في «تدريب الراوي» (١/٣٤٩): «البخاري يطلق: فيه نظر، وسكتوا عنه فيمن تركوا حديثه، ويطلق منكر الحديث على من لا تحل الرواية عنه».

قلت: وبهذا يتبين أن سلمة بن الفضل متروك الحديث فلا يصلح حديثه للاحتجاج ولا المتابعات ولا الشواهد.

 

Penyakit pertama, yaitu Salamah bin al-Fadhl:

(a) Imam al-Bukhari berkata di kitab adh-Dhu’afa’ ash-Shaghir (149), “Salamah bin al-Fadhl bin al-Abrasy mendengar dari Ibn Ibn Ishaq, dia memiliki riwayat-riwayat mungkar dan perlu peninjauan.”

Aku katakan, istilah tersebut memiliki pengertian tersendiri bagi al-Bukhari, dan itu tampak melalui ucapan as-Suyuthi di kitab at-Tadrib ar-Rawi (1/349): Ucapan al-Bukhari, “Fihi nazhar, dan, “Sakatu ‘anhu,” digunakan untuk perawi yang haditsnya ditinggalkan, sedangkan ucapan al-Bukhari, “Munkar al-hadits,” digunakan untuk perawi yang tidak boleh diambil riwayatnya.

Aku katakan, dengan ini menjadi jelaslah bahwa Salamah bin al-Fadhl adalah matruk al-hadits, haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak bisa pula dijadikan mutabi’ dan syahid.

 

ب- قال الإمام النسائي في «الضعفاء والمتروكين» رقم (۲٤١): «سلمة بن الفضل بن الأبرش: أبو عبد الله ضعيف، يروي عن ابن إسحاق المغازي».

 

(b) Imam an-Nasa’i berkata di kitab adh-Dhu’afa’ wa al-Matrukin (241), “Salamah bin al-Fadhl al-Abrasy, Abu ‘Abdillah seorang yang lemah. Dia meriwayatkan al-Maghazi dari Ibn Ishaq.”

 

جـ- أورده الحافظ ابن حجر في «التهذيب» (٤/١٣٥) وقال: «سلمة بن الفضل بن الأبرش الأنصاري مولاهم أبو عبد الله الأزرق، قال البخاري: عنده مناكير وهَّنه علي بن المديني قال علي: ما خرجنا من الري حتى رمينا بحديثه، قال البرذعي عن أبي زرعة: كان أهل الري لا يرغبون فيه لمعان فيه من سوء رأيه وظلم فيه، وأما إبراهيم بن موسى فسمعته غير مرة وأشار أبو زرعة إلى لسانه يريد الكذب». اهـ.

قلت: ولذلك أشار الحافظ ابن حجر إلى سوء حفظه في «التقريب» (١/٣١۸): فقال: «كثير الخطأ». اهـ.

قلت: لذلك قال الحافظ العراقي في «فتح المغيث» (ص۷): «من كثر الخطأ في حديثه وفحش استحق الترك وإن كان عدلاً».

فانظر إلى الترابط الشديد بين قول الإمام البخاري: «فيه نظر» ومعناه وبين قول الحافظ العراقي وتلميذه ابن حجر.

 

(c) al-Hafizh Ibn Hajar menyebutkannya di kitab at-Tahdzib (4/135) dengan mengatakan:

Salamah bin al-Fadhl bin al-Abrasy al-Anshari, maula mereka Abu ‘Abdillah al-Azraq. Al-Bukhari berkata, “Dia (Salamah bin al-Fadhl) memiliki riwayat-riwayat mungkar.” ‘Ali bin al-Madini melemahkannya dan mengatakan, “Kami tidak keluar dari kota ar-Ray sampai kami buang dulu haditsnya (Salamah bin al-Fadhl).” Al-Bardza’i berkata dari Abu Zur’ah, “Penduduk ar-Ray tidak berminat terhadap (hadits)nya karena kandungan di dalamnya yang berasal dari pemikirannya yang buruk juga karena kesalahan-kesalahan di dalamnya. Adapun Ibrahim bin Musa, maka bukan hanya sekali aku menyimak haditsnya –Abu Zur’ah menunjuk lidahnya untuk memaksudkan (Salamah bin al-Fadhl) dusta.”

Aku katakan, oleh karena itu di kitab at-Taqrib (1/318), al-Hafizh Ibn Hajar memberikan isyarat akan buruknya hafalan Salamah bin al-Fadhl, lalu dia mengatakan, “Banyak melakukan kekeliruan.”

Aku katakan, oleh karena itu al-Hafizh al-‘Iraqi berkata di kitab Fath al-Mughits (7), “Siapa yang banyak salah dalam haditsnya, juga melampaui batas, dia layak untuk ditinggalkan meskipun dia seorang yang adil.”

Coba perhatikan hubungan yang erat antara ucapan Imam al-Bukhari, “Fihi nazhar,” -berikut pengertiannya- dengan ucapan al-Hafizh al-‘Iraqi dan muridnya, Ibn Hajar.

 

العلة الثانية: الفضل بن غانم:

أورده الإمام الذهبي في «الميزان» (٣/٣٥۷) وقال: «الفضل بن غانم الخزاعي قال يحيى: ليس بشيء، وقال الدارقطني: ليس بالقوي، وقال الخطيب: ضعيف».

قلت: ومصطلح «ليس بشيء» يقوله يحيى بن معين في الكذابين والمتروكين، كذلك في أهل الغفلة والاضطراب الذين يُرد حديثهم، وفي المبتدعة والمقلين. كذا في «التهذيب» (١/٥۰٩).

 

Penyakit kedua, yaitu al-Fadhl bin Ghanim:

Imam adz-Dzahabi menyebutkannya di kitab al-Mizan (3/357) dengan mengatakan: Al-Fadhl bin Ghanim al-Khuza’i dikatakan oleh Yahya, “Tidak ada apa-apanya,” dan ad-Daruquthni mengatakan, “Tidak kuat,” sedangkan al-Khathib mengatakan, “Lemah.”

Aku katakan, istilah, “Tidak ada apa-apanya,” dikatakan oleh Yahya bin Ma’in untuk para perawi dusta dan matruk, seperti itu juga bagi orang-orang yang lupa dan guncang, yaitu orang-orang yang ditolak hadits-hadits mereka.

الطريق الثالث: وفيه أيضًا علتان:

 

Jalur ketiga juga mengandung dua penyakit, yaitu:

 

العلة الأولى: الكلبي: أورده الإمام الذهبي في «الميزان» ترجمة (۷٥۷٤) وقال: «محمد بن السائب الكلبي، أبو النضر الكوفي المفسر النَّسَّابَة الأخباري، قال ابن معين: «الكلبي ليس بثقة»، وقال الجوزجاني وغيره: كذاب. وقال الدارقطني وجماعة: متروك».

قال النسائي في «الضعفاء والمتروكين» ترجمة (٥١٤): «أبو النضر الكلبي: متروك الحديث». وقال البخاري في «الضعفاء الصغير» ترجمة (٣۲۲)): أبو النضر الكلبي تركه يحيى بن سعيد».

 

Penyakit pertama, yaitu al-Kalbi:

Imam adz-Dzahabi menyebutkannya di kitab al-Mizan (7574) dengan mengatakan: Muhammad bin as-Sa-ib al-Kalbi, Abu Nadhr al-Kufi al-Akhbari, seorang mufassir dan ahli ilmu nasab, dia dikatakan oleh Ibn Ma’in, “Al-Kalbi bukan perawi tepercaya,” al-Jaujazani dan yang lainnya mengatakan, “Pendusta,” ad-Daraquthni dan Jama’aah mengatakan, “Matruk.”

Imam an-Nasa’i berkata di kitab adh-Dhu’afa’ wa al-Matrukin, tarjamah (514), “Abu Nadhr al-Kalbi matruk al-hadits.” Imam al-Bukhari berkata di kitab adh-Dhu’afa’ ash-Shaghir, tarjamah (322), “Abu Nadhr al-Kalbi dianggap matruk oleh Yahya bin Sa’id.”

 

العلة الثانية: أبو صالح: قال الإمام ابن حبان في «المجروحين» (۲/۲٥٥): «محمد بن السائب الكلبي يروي عن أبي صالح عن ابن عباس التفسير، وأبو صالح لم ير ابن عباس ولا سمع منه شيئًا، ولا سمع الكلبي من أبي صالح، لا يحل ذكره في الكتب فكيف الاحتجاج به؟». اهـ.

قلت: بهذا يتبين أن الطرق الثلاثة التي أخرجها أبو نعيم تزيد القصة وهنًا على وهن لما فيها من كذابين ومتروكين ومجهولين ومدلسين.

 

Penyakit kedua, yaitu Abu Shalih:

Imam Ibn Hibban berkata di kitab al-Majruhin (2/255), “Muhammad bin as-Sa-ib al-Kalbi meriwayatkan tafsir dari Abu Shalih dari Ibn ‘Abbas, padahal Abu Shalih itu tidak melihat Ibn ‘Abbas dan tidak pula mendengar darinya sedikit pun. Dan al-Kalbi pun tidak mendengar dari Abu Shalih. Tidak boleh (riwayatnya) dicantumkan dalam kitab-kitab, lantas bagaimana pula kalau sampai dijadikan hujjah?”

Aku katakan, dengan ini jelaslah bahwa ketiga jalur periwayatan yang dikeluarkan oleh Abu Nu’aim hanya menambah kelemahan terhadap kisah tersebut karena di dalam sanadnya terdapat perawi-perawi dusta, matruk, majhul, dan mudallis.

 

٣- ابن جرير الطبري في «التاريخ» (١/٥٦٦) أخرج القصة من ثلاثة طرق:

الأول: نفس طريق سلمة بن الفضل بن الأبرش الذي أخرجه أبو نعيم وبينا أنه طريق تالف.

والثاني: من طريق الكلبي عن أبي صالح عن ابن عباس.

قلت: ولقد بينا آنفًا أن هذا الطريق أوهى من سابقه.

والثالث: من طريق سلمة عن محمد بن إسحاق قال: حدثني الحسن بن عمارة عن الحكم بن عتيبة عن مقسم عن ابن عباس.

قلت: وهذا الطريق تالف فيه سلمة بن الفضل وهو متروك كما بينا آنفًا، والحكم بن عتيبة مدلس كما في «التقريب» (١/١٩۲) وقد عنعن.

 

KETIGA: Ibn Jarir ath-Thabari di kitab at-Tarikh (1/566) mengeluarkan kisah tersebut dari tiga jalur periwayatan, yaitu:

(1) identik dengan yang dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dari jalur Salamah bin al-Fadhl bin al-Abrasy, dan telah kami jelaskan bahwa jalur tersebut rusak.

(2) dari jalur al-Kalbi dari Abu Shalih dari Ibn ‘Abbas. Aku katakan, telah kami jelaskan di muka bahwa jalur ini lebih lemah dari yang sebelumnya.

(3) dari jalur Salamah dari Muhammad bin Ishaq, dia berkata: telah menceritakan kepadaku al-Hasan bin ‘Imarah dari al-Hakim bin ‘Utaibah dari Miqsam dari Ibn ‘Abbas.

Aku katakan, jalur ini rusak karena di dalamnya ada Salamah bin al-Fadhl yang merupakan perawi matruk sebagaimana telah kami jelaskan di muka, sedangkan al-Hakim bin ‘Utaibah seorang yang mudallis sebagaimana (dijelaskan) di kitab at-Taqrib (1/192) dan dia meriwayatkannya secara ‘an’anah.

 

٤- وأخرج القصة ابن جرير الطبري في «التفسير» (٦/٢٥١- ٢٥٢ح ١٥۹٧٩) من طريقين:

الأول: هو نفس الطريق الأول الذي أخرجه أبو نعيم والذي بينا ضعفه آنفًا.

الثاني: من طريق الكلبي عن باذام مولى أم هانئ عن ابن عباس.

قلت: وباذام مولى أم هانئ هو أبو صالح كما في «التقريب» (١/٩٣).وهذا هو الطريق الثالث الذي أخرجه أبو نعيم وهو طريق تالف كما بينا آنفًا.

ملحوظة: وقع تصحيف في السند في تفسير ابن جرير حيث جاء اسم أبي صالح (زاذان مولى أم هانئ)، ويجب أن يصحح إلى (باذام مولى أم هانئ) كما في «التقريب» (١/٩٣) وقال الحافظ ابن حجر: «ضعيف مدلس»، وقد عنعن فيزداد الطريق ضعفًا على ضعفه.

 

KEEMPAT: kisah tersebut juga dikeluarkan oleh Ibn Jarir ath-Thabari di kitab at-Tafsir (6/201-201; 15979) melalui dua jalan, yaitu:

(1) identik dengan jalur pertama yang dikeluarkan oleh Abu Nu’aim, dan penjelasan mengenai kelemahannya telah kami jelaskan di muka.

(2) dari jalur al-Kalbi dari Badzam maula Ummu Hani’, dari Ibn ‘Abbas. Aku katakan, Badzam maula Ummu Hani’ adalah Abu Shalih sebagaimana (dijelaskan) di kitab at-Taqrib (1/93). (Dengan demikian), jalur ini sama dengan jalur ketiga yang dikeluarkan oleh Abu Nu’aim, yakni jalur yang rusak sebagaimana penjelasan kami sebelumnya.

Perhatian: telah terjadi tash-hif (salah tulis/typo) dalam kitab Tafsir Ibn Jarir, yaitu termaktub penulisan nama Abu Shalih dengan nama Zadzan maula Ummu Hani’, sehingga wajib membetulkannya menjadi Badzam maula Ummu Hani’ sebagaimana (disebutkan) di kitab at-Taqrib (1/93). Al-Hafizh Ibn Hajar berkata, “Dia seorang yang lemah dan mudallis,” dan ini pun diriwayatkan secara ‘an’anah sehingga bertambah lemahlah jalur sanadnya dengan kelemahannya.

 

٥- وأخرج القصة ابن أبي حاتم في «التفسير» (٥/١٦٨٦) (ح١۹٩٤) من نفس الطريق الواهي الذي أخرجه أبو نعيم من طريق ابن إسحاق من حديث مجاهد عن ابن عباس ويظهر فيه التدليس والاضطراب.

 

KELIMA: kisah tersebut dikeluarkan juga oleh Ibn Abi Hatim di kitab at-Tafsir (5/1686; 1994), jalur sanadnya identik dengan jalur rapuh yang dikeluarkan oleh Abu Nu’aim melalui Ibn Ishaq dari hadits Mujahid dari Ibn ‘Abbas. Sangat tampak dalam jalur sanad ini tadlis dan idh-thirab.

 

٦- وأخرجه البيهقي في «الدلائل» عن محمد بن إسحاق من نفس الطرق التي بينا ضعفها من مدلسين ومجهولين وكذابين ومتروكين.

 

KEENAM: dikeluarkan juga kisah tersebut oleh al-Baihaqi di kitab ad-Dala-il dari Muhammad bin Ishaq namun identik dengan jalur-jalur yang telah kami kemukakan kelemahannya berupa perawi-perawi mudallis, majhul, dusta, dan matruk.

 

بدائل صحيحة:

ولقد بين الإمام البخاري الصحيح في هجرة رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم وذكر قصة الهجرة في أكثر من أربعين سطرًا في الحديث رقم (٣٩٠٥) من حديث عائشة رضي الله عنها، وفي الحديث رقم (٣٩٠٦) من حديث سراقة بن جعشم.

وبوَّب الإمام البخاري بابًا بعنوان «هجرة النبي صلى الله عليه وسلم إلى المدينة الباب رقم (٤٥) من كتاب «مناقب الأنصار»، وفي هذه القصص الصحيحة الغنى عن هذه القصص الواهية.

هذا ما وفقني الله إليه، وهو وحده من وراء القصد.

 

Kisah Pengganti yang Sahih:

Imam al-Bukhari telah menjelaskan kisah sahih mengenai hijrah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dan menyebutkan kisah hijrah tersebut dengan lebih dari empat puluh baris pada hadits (3905) dari hadits ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha– dan juga hadits (3906) dari hadits Suraqah bin Ju’syum.

Dan Imam al-Bukhari membuat bab dengan judul Hijrah an-Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ila al-Madinah, bab nomor (45) bagian dari kitab Manaqib al-Anshar, dan di dalam kisah-kisah yang sahih ini terdapat kecukupan yang tak lagi butuh kepada kisah-kisah yang rapuh.

Inilah yang –semoga Allah memberi taufik kepadaku terhadap tulisan ini, dan Dia-lah satu-satunya yang menjadi tujuan …

 

Bandung, 16 Mei 2013

–HENDRA WIBAWA IBN TATO WANGSA WIDJAJA–

22 comments on “Senator Iblis …

  1. jampang says:

    kalau kisah dialog mereka tanpa ada kehadiran iblis di situ, valid nggak kang?

    saya pernah denger cerita musyawarah mereka itu tapi tanpa ada tokoh iblis di dalamnya

  2. thetrueideas says:

    nah khan…ternyata 🙂

    btw saya makan ama mas Hend di kursi yang tengah itu tuh… *pengumuman 😀

  3. Novi Kurnia says:

    wuih judulnya, mirip judul pelem, heheheee…

    waaa… aku pernah baca cerita ini. ternyata dongeng belaka. Kok banyak dongeng yang mengatasnamakan agama, ya.

    • tipongtuktuk says:

      dulu, kata para ustadz, itulah pentingnya sanad …
      memang bisa saja terjadi kesalahan dalam penulisan sejarah, baik disengaja maupun tak disengaja, baik karena lupa atau alasan lainnya … he he he …

      alhamdulillah, Allah menjaga agama ini dengan para ahli hadits …

  4. jaraway says:

    tanggalnyaaaaaaaaa koq 16 januarii?

Leave a reply to tipongtuktuk Cancel reply