Sunnah yang Ditinggalkan: Shaf Shalat yang Rapat dan Menempel …

Untitled

Syaikh Muhammad bin ‘Umar Bazmul –hafizhahullah …

Kitab: at-Tatimmat li Ba’dhi Masa-il ash-Shalah (hal: 44)

https://www.facebook.com/mohammadbazmool/posts/1713762842075528

Syaikh Muhammad bin ‘Umar Bazmul –hafizhahullah- berkata di kitab at-Tatimmat (hal 44):

فإن قيل: جاء في رواية لحديث النعمان بن بشير أنه قال: [رأيت الرجل يلزق.. ركبته بركبة صاحبه] وهذا غير ممكن، وهو دليل على أن إلصاق المنكب بالمنكب والكعب بالكعب ليس مشروعا!!

Jika ada orang yang mengatakan:

Terdapat sebuah riwayat pada hadist an-Nu’man bin Basyir (tentang meluruskan dan merapatkan shaf ketika shalat berjamaah) bahwasanya an-Nu’man bin Basyir berkata, “Aku melihat seseorang menempelkan lututnya dengan lutut temannya.” Tentu saja menempelkan lutut dengan lutut teman ketika shalat itu tidak mungkin dilakukan, dan hal ini menjadi bukti bahwa sebetulnya menempelkan bahu dengan bahu ketika shalat itu tidaklah disyariatkan. Begitu juga dengan menempelkan mata kaki dengan mata kaki, hal ini tidaklah disyariatkan!

الجواب :
هذه الرواية أخرجها أحمد في المسند (٤/٢٧٦) وأبو داود في (كتاب الصلاة تفريع أبواب الصفوف، حديث رقم ٦٦٢)، والدارقطني في سننه( ٢/٢٨٢_مع التعليق المغني)،وابن خزيمة في صحيحه ( ١/٨٢، حديث رقم ١٣٠) والحديث صححه الألباني في صحيح سنن أبي داود (١/١٣٠)

وعلى كل حال أقول :المقصود سد الخلل، وتعديل الصف، وعدم ترك فرج للشيطان، وذلك في الصلاة جميعها، من قيام، وركوع، وسجود، وجلوس، فلا يترك المسلم خللا بينه وبين أخيه المسلم في الصف.

وأنت إذا تدبرت ذلك، رأيت أن إلزاق الركبة بالركبة ممكنا في حال السجود والجلوس في الصلاة، فتكون الرواية التي فيها : [وركبته بركبة صاحبه] دليل على سنية ذلك في حال السجود والجلوس في الصلاة، حتى لا يترك المسلم فرجة وخللا بينه وبين أخيه المسلم.

فإلزاق المنكب بالمنكب والكعب بالكعب والركبة بالركبة مسنون في جميع الصلاة، في كل حال منها بحسب ما يناسبها، والمقصود أن لا يترك المصلي بينه وبين من يصلي جواره فرجة للشيطان، لا في حال القيام، ولا في حال الركوع، ولا في حال السجود، ولا في حال الجلوس، والله أعلم.

Jawabannya adalah:

Riwayat an-Nu’man bin Basyir tersebut dikeluarkan oleh Ahmad dalam al-Musnad (4/276), Abu Dawud di kitab Shalah, bab Tafri’ Abwab ash-Shufuf (hadits nomor 266), ad-Daraquthni di kitab Sunan (2/282; disertai at-Ta’liq al-Mughni), dan Ibn Khuzaimah di kitab Shahih-nya (1/82; hadits nomor 130). Hadits tersebut disahihkan oleh Syaikh al-Albani di kitab Shahih Sunan Abi Dawud (1/130) …

Bagaimana pun, aku katakan: Maksudnya adalah menutup celah, meluruskan shaf, dan meniadakan celah bagi setan. Dan semua itu dilakukan pada keseluruhan posisi shalat, dari mulai berdiri, rukuk, sujud, dan duduk. Seorang Muslim tidak boleh membiarkan ada celah yang renggang antara dirinya dengan saudaranya dalam shaf shalat (dalam semua keadaan/posisi shalat –pent) …

Kalau saja kau renungkan hal itu, niscaya kamu lihat bahwa menempelkan lutut dengan lutut itu mungkin dilakukan dalam keadaan sujud dan duduk dalam shalat berjamaah. Dengan demikian, riwayat  yang memuat redaksi, “Seseorang menempelkan lututnya dengan lutut temannya,” memang menjadi dalil atas kesunnahan menempelkan lutut dengan lutut dalam keadaan sujud dan duduk dalam shalat, sehingga seorang Muslim tidak membiarkan adanya celah dan kerenggangan di antara dirinya dengan saudaranya (di sepanjang shalat –pent) …

Dengan demikian, menempelkan bahu dengan bahu, mata kaki dengan mata kaki, dan lutut dengan lutut itu memanglah disunnahkan dalam keseluruhan (keadaan/posisi) shalat, pada setiap posisi shalat ada dari hal-hal tersebut yang bisa menempel sesuai dengan keadaan shalat, dan yang dituju adalah agar orang yang shalat tidak membiarkan adanya celah bagi setan di antara dirinya dengan orang yang shalat di sampingnya, baik dalam keadaan berdiri, rukuk, sujud, maupun duduk. Wallahu a’lamu …

Bandung, 1 Juni 2018

–HENDRA WIBAWA IBN TATO WANGSA WIDJAJA–

Tentang Hal yang Tak Berkurang dari Bulan Hari Raya …

IMG-20160725-01365

قال النبي صلى الله عليه وسلم: شهران لا ينقصان، شهرا عيد: رمضان وذو الحجة …

 

Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata, “Dua bulan yang tak akan berkurang, yaitu dua bulan hari raya, bulan Ramadhan dan Dzulhijjah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

 

*

**

 

Kitab Fatawa Ibn ‘Aqil (1/83-84) …

 

سائل يسأل عن الأثر المشهور: (شهران عيد لا ينقصان) هل هو حديث مرفوع٬ أو أثر موقوف٬ ومن رواه٬ وما معناه؟

 

Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abd al-‘Aziz bin ‘Aqil rahimahullahditanya:

Seorang penanya bertanya tentang atsar masyhur yang bunyinya, “Dua bulan hari raya yang keduanya tak berkurang.” Apakah itu merupakan hadits yang marfu’ ataukah atsar yang mauquf? Dan siapakah yang meriwayatkannya? Apa pula pengertiannya?

 

Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abd al-‘Aziz bin ‘Aqil rahimahullah menjawab:

 

هذا حديث صحيح مرفوع إلى النبي صلى الله عليه وسلم. رواه البخاري ومسلم عن أبي بكرة٬ وترجم عليه البخاري في صحيحه باب شهرا عيد لا ينقصان. قال أبو عبد الله: قال إسحاق: وإن كان ناقصا فهو تمام. وقال محمد لا يجتمعان كلاهما ناقص. ثم ساق بسنده إلى أبي بكرة عن النبي صلى الله عليه وسلم: (شهران لا ينقصان شهرا عيد رمضان وذو الحجة(.

وقد اختلف العلماء في معنى هذا الحديث:

 

Hadits tersebut sahih marfu’ (sampai kepada) Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Bakrah. Imam al-Bukhari menyebutkan hadits tersebut di kitab Shahih-nya pada bab Dua Bulan Hari Raya yang Tak Berkurang. Abu ‘Abdillah (yakni al-Bukhari –pent) berkata: Ishaq (bin Rahawaih –pent) berkata, “Meskipun bilangan harinya kurang, ia tetaplah (bernilai) sempurna.” Muhammad (yakni al-Bukhari –pent) berkata, “Tidak akan berhimpun pada kedua bulan tersebut kekurangan.” Kemudian Imam al-Bukhari membawakan hadits tersebut dengan sanadnya yang sampai kepada Abu Bakrah dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dengan redaksi, “Dua bulan yang tak berkurang, yaitu dua bulan hari raya, Ramadhan dan Dzulhijjah.” Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian yang terkandung dalam hadits tersebut, yaitu:

 

فمنهم من حمله على ظاهره٬ فقال: لا يكون رمضان وذو الحجة إلا تامّين٬ ثلاثين يوما. وهذا قول مردود٬ ومخالف للمشاهد الموجود.

 

Di antara para ulama itu, ada yang memahami pengertiannya secara zahir, lalu ia berpendapat seraya mengatakan, “Tak akan terjadi bilangan hari pada bulan Ramadhan dan Dzulhijjah kecuali sama-sama sempurna, yaitu pastilah masing-masing berjumlah tiga puluh hari.” Dan ini merupakan pendapat yang tertolak lantaran menyelisihi realitas yang terjadi …

 

ومنهم من تأول له معنى آخر٬ وقال: لا ينقصان في الفضيلة إن كانا تسعا وعشرين أو ثلاثين٬ وهو قول إسحاق بن واهوية وغيره.

 

Di antara para ulama itu, ada juga yang berpendapat dengan mengartikannya kepada pengertian lain, dan ia mengatakan, “Keutamaan kedua bulan tersebut tidaklah berkurang meskipun jumlah hari masing-masing bulan tersebut hanya dua puluh sembilan hari saja atau tiga puluh hari,” dan ini merupakan pendapat Ishaq bin Rahawaih dan selainnya …

 

وفي قول ثالث: إنهما لا ينقصان معا في سنة واحدة٬ إن جاء أحدهما تسعا وعشرين جاء الآخر ثلاثين ولا بد. قال أحمد بن حنبل: إن نقص رمضان تم ذو الحجة٬ وإن نقص ذو الحجة تم ىمضان. ونقل عنه أبو داود: لا أدري ما هذا٬ قد رأيناهما ينقصان. فعلى هذا يكون عنه في ذلك روايتان.

 

Pendapat ketiga mengatakan, “Sesungguhnya kedua bulan tersebut tidak akan secara bersamaan dalam tahun yang sama mengalami kekurangan bilangan hari. Jika salah satunya berjumlah dua puluh sembilan pada tahun tersebut, maka yang lainnya akan genap tiga puluh hari, tak bisa tidak.” Imam Ahmad bin Hanbal berkata, Jika bulan Ramadhan berkurang harinya (yakni hanya dua puluh sembilan hari –pent), maka bulan Dzulhijjah akan genap sempurna bilangan harinya (yakni tiga puluh hari –pent). Begitu juga, jika bulan Dzulhijjah berkurang harinya, maka bulan Ramadhan akan genap sempurna bilangan harinya.” (Akan tetapi), Abu Dawud menukil pula satu ucapan dari Imam Ahmad yang mengatakan, “Aku tak tahu apa maksudnya, soalnya kami melihat sendiri kedua bulan itu berkurang jumlah harinya.” Dengan demikian, terdapat dua riwayat berbeda yang menyebutkan tentang ucapan Imam Ahmad mengenai hadits tersebut …

 

وفي قول رابع: إن المراد: لا ينقصان في عام بعينه٬ وهو العام الذي قال فيه النبي صلى الله عليه وسلم تلك مقالة. وقد أنكر الإمام أحمد هذا القول.

 

Adapun menurut pendapat keempat, mereka mengatakan, “Sesungguhnya maksud dari hadits tersebut bahwasanya kedua bulan itu takkan berkurang bilangan harinya pada tahun yang tertentu saja, yakni hanya pada tahun ketika Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengucapkan hadits tersebut saja.” Akan tetapi, pendapat ini diingkari (tidak dianggap benar) oleh Imam Ahmad …

 

وقيل: إنما خصهما بالذكر لفضلهما على سائر الشهور٬ واختصاصهما بالعيدين٬ وتعلُّق أحكام الصوم والحج بهما. فكل ما ورد فيهما من الفضائل والأحكام حاصل٬ سواء كان رمضان تسعا وعشرين أو ثلاثين٬ وسواء وافق الوقوف اليوم التاسع أو غيره. ذكره البيهقي.

 

Dan ada yang mengatakan bahwa dikhususkannya penyebutan kedua bulan itu dalam hadits tersebut lantaran kedua bulan itu memang lebih utama dari bulan-bulan lainnya, dan keduanya dikhususkan dengan adanya hari raya di dalamnya dan keterkaitan dengan hukum-hukum shaum dan haji pada masing-masing dari kedua bulan tersebut. Maka, setiap keutamaan dan hukum-hukum yang terdapat pada kedua bulan tersebut, sudah merupakan sesuatu yang tetap, sama saja apakah jumlah hari pada bulan Ramadhan itu dua puluh sembilan hari maupun tiga puluh hari, dan sama saja apakah wukuf yang dilakukan itu bertepatan dengan hari kesembilan ataukah tidak tepat pada hari itu sebagaimana yang disebutkan oleh al-Baihaqi.

 

وفائدة الحديث: ما قد يقع في القلوب من شك لمن صام تسعا وعشرين، أو وقف في غير يوم عرفة، والله أعلم

 

Dan faidah hadits ini: (berkaitan dengan) keraguan yang menimpa hati orang yang melaksanakan shaum dua puluh sembilan hari saja atau orang yang wukuf pada hari selain hari ‘Arafah (yakni mereka meragukan kesempurnaan dari keutamaan yang mereka raih lantaran hanya mengerjakan shaum sebanyak dua puluh sembilan hari saja, dan mereka juga meragukan kesempurnaan dari keutamaan yang meraka raih lantaran perhitungan hari wuquf mereka di ‘Arafah belum tentu tepat. Maka, hadits tersebut menepis keraguan mereka itu –pent). Wallahu a’lamu … –SELESAI

 

*

**

 

Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi al-Atsari –hafizhahullah

http://alhalaby.com/play-2848.html

 

Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi al-Atsari –hafizhahullah– berkata:

 

الشرح والبيان لحديث: ((شهرا عيد لا ينقصان)) -الذي رواه الشيخان-

 

Penafsiran dan penjelasan mengenai hadits, “Dua bulan hari raya yang keduanya tak berkurang,” yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim …

 

قال الإمام الطحاوي -رحمه الله-في ((مشكل الآثار)):

«بَابُ بَيَانِ مُشْكِلِ مَا رُوِيَ عَنْهُ -عَلَيْهِ السَّلَامُ- مِنْ قَوْلِهِ: «شَهْرَا عِيدٍ لَا يَنْقُصَانِ رَمَضَانُ وَذُو الْحِجَّةِ».

– حَدَّثَنَا ابْنُ مَرْزُوقٍ، حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ -عَلَيْهِ السَّلَامُ-: «شَهْرَا عِيدٍ لَا يَنْقُصَانِ رَمَضَانُ وَذُو الْحِجَّةِ»…..

 

Imam ath-Thahawi –rahimahullah– berkata di kitab Musykil al-Atsar:

Bab penjelasan tentang kemusykilan dari hal yang diriwayatkan dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berupa ucapan, “Dua bulan hari raya yang tak berkurang, yaitu Ramadhan dan Dzulhijjah.”

Telah bercerita kepada kami Ibn Marzuq, telah bercerita kepada kami ‘Utsman bin ‘Umar, telah bercerita kepada kami Syu’bah, dari Khalid al-Hadza’, dari ‘Abd ar-Rahman bin Abi Bakrah, dari ayahnya ia berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata, “Dua bulan hari raya, keduanya tidaklah berkurang, yaitu Ramadhan dan Dzulhijjah.”

 

فَتَأَمَّلْنَا هَذَا الْحَدِيثَ؛ لِنَقِفَ عَلَى الْمَعْنَى الَّذِي أُرِيدَ بِهِ مَا فِيهِ :

وَهَلْ هُوَ عَلَى نُقْصَانِ الْعَدَدِ -كَمَا قَالَ مَنْ قَالَ ذَلِكَ- ؟

أَوْ: هَلْ هُوَ عَلَى وُجُودِ النُّقْصَانِ مِنَ الْعَدَدِ فِي أَحَدِهِمَا، وَعَلَى انْتِفَائِهِ مِنَ الْآخَرِ -حَتَّى لَا يَكُونَا جَمِيعًا نَاقِصَيْنِ-؟

أَوْ خِلَافُ هَذَيْنِ الْمَعْنَيَيْنِ الْمَذْكُورَيْنِ؟؟

فَوَجَدْنَا مَا قَدْ عَهِدْنَاهُ فِي الْأَزْمِنَةِ: أَنَّ النُّقْصَانَ مِنَ الْعَدَدَيْنِ يَكُونُ فِي أَحَدِهِمَا دُونَ الْآخَرِ.

وَقَدْ يَكُونُ فِيهِمَا -جَمِيعًا- لَا تَنَازُعَ فِي ذَلِكَ.

وَقَدْ حَقَّقَهُ مَا قَدْ رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللهِ -عَلَيْهِ السَّلَامُ- مِمَّا أَمَرَ بِاسْتِعْمَالِهِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ وَفِي أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ:

– كَمَا حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مَعْبَدٍ، وَابْنُ مَرْزُوقٍ قَالَا حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ، حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ إِسْحَاقَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ جُبَيْرٍ، أَخْبَرَهُ أَنَّهُ، سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ، يَقُولُ:

إنِّي لَأَعْجَبُ مِنَ الَّذِينَ يَصُومُونَ قَبْلَ رَمَضَانَ، إنَّمَا قَالَ رَسُولُ اللهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: «إذَا رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ»…

– وَكَمَا حَدَّثَنَا ابْنُ خُزَيْمَةَ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ، أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ، قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ، يَقُولُ: قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ -عَلَيْهِ السَّلَامُ-: «صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ؛ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ».

– وَكَمَا حَدَّثَنَا فَهْدٌ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ الرَّبِيعِ، حَدَّثَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ حُمَيْدٍ الرُّؤَاسِيُّ، عَنْ مُجَالِدِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ، قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: «إذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَصُمْ ثَلَاثِينَ ؛إلَّا أَنْ تَرَى الْهِلَالَ قَبْلَ ذَلِكَ».

فَعَقِلْنَا بِذَلِكَ أَنَّ شَهْرَ رَمَضَانَ قَدْ يَكُونُ ثَلَاثِينَ ،وَقَدْ يَكُونُ تِسْعًا وَعِشْرِينَ.

فَاحْتَجْنَا إلَى مَعْنَى قَوْلِهِ: «شَهْرَا عِيدٍ لَا يَنْقُصَانِ» مَا هُوَ؟

فَوَجَدْنَا هَذَيْنِ الشَّهْرَيْنِ -وَهُمَا رَمَضَانُ وَذُو الْحِجَّةِ- يَبينانِ عَلَى مَا سِوَاهُمَا مِنَ الشُّهُورِ ; لِأَنَّ فِي أَحَدِهِمَا الصِّيَامَ وَلَيْسَ فِي غَيْرِهِ مِنَ الشُّهُورِ، وَفِي أَحَدِهِمَا الْحَجَّ وَلَيْسَ فِي غَيْرِهِ مِنَ الشُّهُورِ.

فَكَانَ مَوْهُومًا أَنْ يَقَعَ فِي قُلُوبِ قَوْمٍ أَنَّهُمَا إذَا كَانَا (تِسْعًا وَعِشْرِينَ= تِسْعًا وَعِشْرِينَ) نَقَصَ بِذَلِكَ الصَّوْمُ الَّذِي فِي أَحَدِهِمَا، وَالْحَجُّ الَّذِي يَكُونُ فِي الْآخَرِ عَنْ مَا يَكُونَانِ عَلَيْهِ إذَا كَانَا (ثَلَاثِينَ= ثَلَاثِينَ): فَأَعْلَمَهُمْ رَسُولُ اللهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أَنَّهُمَا لَا يَنْقُصَانِ , وَإِنْ كَانَا (تِسْعًا وَعِشْرِينَ= تِسْعًا وَعِشْرِينَ) عَن مَا يَكُونُ فِيهِمَا مِنْ هَاتَيْنِ الْعِبَادَتَيْنِ , وَأَنَّ هَاتَيْنِ الْعِبَادَتَيْنِ كَامِلَتَانِ فِيهِمَا وَإِنْ كَانَا فِي الْعَدَدِ كَذَلِكَ كَكَمَالِهِمَا فِيهِمَا إذَا كَانَا (ثَلَاثِينَ= ثَلَاثِينَ).

وَقَدْ رَوَى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِسْحَاقَ الْبَصْرِيُّ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخِلَافِ هَذَا الْمَعْنَى: – كَمَا حَدَّثَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ أَبِي دَاوُدَ، حَدَّثَنَا فَرْوَةُ بْنُ أَبِي الْمَغْرَاءِ، حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ مَالِكٍ الْمُزَنِيُّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ رَسُولُ اللهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ: «كُلُّ شَهْرٍ حَرَامٍ ثَلَاثُونَ يَوْمًا وَثَلَاثُونَ لَيْلَةً» !

فَكَانَ هَذَا عِنْدَنَا لَيْسَ بِشَيْءٍ ؛إذْ كَانَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِسْحَاقَ لَا يُقَاوِمُ خَالِدًا الْحَذَّاءَ فِي إِمَامَتِهِ فِي الرِّوَايَةِ، وَلَا فِي ضَبْطِهِ فِيهَا، وَلَا فِي إتْقَانِهِ لَهَا. وَإِذْ كَانَ الْعِيَانُ قَدْ دَفَعَ ذَلِكَ -وَبِاللهِ التَّوْفِيقُ-».

 

Maka kami merenungkan hadits ini untuk memahami pengertian yang dimaksudkan dalam hadits tersebut. Apakah yang dimaksud itu adalah pengurangan jumlah bilangan hari sebagaimana yang dikatakan oleh orang yang berpendapat demikian? Atau apakah maksudnya memang ada jumlah hari yang berkurang pada salah satu dari kedua bulan itu sementara bulan yang satu lagi tidak berkurang jumlah harinya sehingga tidak mungkin terdapat pengurangan jumlah hari secara bersamaan? Ataukah terdapat pengertian lain yang berbeda dari kedua pendapat yang telah disebutkan tersebut?

Lalu –ternyata- kami dapati dalam kenyataan zaman bahwa memang terjadi jumlah hari yang berkurang pada salah satu dari kedua bulan itu sementara bulan yang satu lagi tidak berkurang jumlah harinya. Terkadang pula kami dapati kenyataan bahwa jumlah hari dari kedua bulan itu memang berkurang secara bersamaan, tiada perbedaan di antara keduanya dalam kekurangan jumlah harinya.

Kenyataan yang kami dapati itu dikuatkan pula oleh hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dari hal yang beliau perintahkan untuk untuk dikerjakan pada awal dan akhir bulan Ramadhan. Sebagaimana telah bercerita kepada kami ‘Ali bin Ma’bad dan Ibn Marzuq yang keduanya berkata: telah bercerita kepada kami Rauh bin ‘Ubadah, telah bercerita kepada kami Zakariya bin Ishaq, dari ‘Amr bin Dinar bahwa Muhammad bin Jubair mengabarkan kepadanya bahwasanya ia mendengar Ibn ‘Abbas berkata: Sesungguhnya aku benar-benar heran terhadap orang-orang yang berpuasa sebelum Ramadhan. Hanyalah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– itu bersabda, “Jika kalian melihat hilal, berpuasalah kalian, dan jika kalian melihat hilal, berbukalah kalian! Apabila hilal itu tetrtutup awan, maka genapkanlah menjadi tiga puluh hari!”

Juga sebagaimana telah bercerita kepada kami Ibn Khuzaimah, telah bercerita kepada kami ‘Ali bin al-Ja’d, telah berkabar kepada kami Syu’bah, dari Muhammad bin Ziyad, ia berkata: aku mendengar Abu Hurairah berkata: Abu al-Qasim –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata, “Shaumlah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihatnya. Apabila hilal itu terhalang awan dari pandangan kalian, maka genapkanlah menjadi tiga puluh hari!”

Dan sebagaimana telah bercerita kepada kami Fahd, telah bercerita kepada kami al-Hasan bin ar-Rabi’, telah bercerita kepada kami Ibrahim bin Humaid ar-Ru-asiy, dari Mujalid bin Sa’id, dari asy-Sya’bi, dari ‘Adi bin Hatim ia berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata kepadaku, “Jika Ramadhan tiba, maka shaumlah tiga puluh hari kecuali jika kau melihat hilal sebelum itu.”

Dengan itu kami tahu bahwa bulan Ramadhan itu terkadang tiga puluh hari dan terkadang pula dua puluh sembilan hari. Oleh karena itu, kami ingin tahu pengertian dari ucapan beliau, “Dua bulan hari raya yang keduanya tidak berkurang.” Apa sebetulnya makna dari hadits ini?

Maka kami dapati bahwa kedua bulan ini, yaitu Ramadhan dan Dzulhijjah, keduanya berbeda dengan bulan-bulan selain keduanya lantaran di dalam salah satu dari kedua bulan tersebut (yakni bulan Ramadhan), terdapat kewajiban shaum yang tak ada pada bulan-bulan lainnya, sedangkan pada bulan yang satu lagi (yakni Dzulhijjah), terdapat kewajiban Haji yang tak ada pada bulan-bulan lainnya …

Dahulu terjadi kebimbangan di dalam hati orang-orang bahwa kedua bulan tersebut jika jumlah masing-masing harinya hanya dua puluh sembilan hari, maka berkuranglah karenanya nilai shaum dan haji dibandingkan ketika jumlah hari pada masing-masing dari kedua bulan itu tiga puluh hari. Maka kemudian Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– memberitahu mereka bahwa (keutamaan yang diraih dari ibadah yang dilakukan pada) kedua bulan itu tidaklah berkurang meskipun jumlah hari dari masing-masing dari kedua bulan itu sama-sama dua puluh sembilan hari, dan bahwasanya kedua ibadah yang dilaksanakan pada kedua bulan itu tetap sempurna meskipun jumlah harinya dua puluh sembilan, tiada beda dengan ketika jumlah hari dari masing-masing bulan itu tiga puluh hari …

Memang benar bahwa ‘Abd ar-Rahman bin Ishaq al-Bashri telah meriwayatkan hadits ini dari ‘Abd ar-Rahman bin Abi Bakrah dari ayahnya dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– yang berbeda dengan pengertian ini sebagaimana telah bercerita kepada kami Ibrahim bin Abi Dawud, telah bercerita kepada kami Farwah bin Abi al-Maghra’, telah bercerita kepada kami al-Qasim bin Malik al-Muzani, dari ‘Abd ar-Rahman bin Ishaq, dari ‘Abd ar-Rahman bin Abi Bakrah, dari ayahnya, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata, “Semua bulan haram berjumlah tiga puluh hari dan tiga puluh malam.” Akan tetapi, menurut kami hadits tersebut tidaklah teranggap karena kenyataannya ‘Abd ar-Rahman bin Ishaq itu tak sebanding tingkat keimamannya dengan Khalid al-Hadza’ dalam periwayatan, tidak juga dalam kekuatan hafalan dan kesempurnaan penguasaannya terhadap riwayat, dan kenyataan realitas pun menolak hal tersebut …

 

وقال-رحمه الله- في (( شرح معاني الآثار )):

«بَابُ مَعْنَى قَوْلِ رَسُولِ اللهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: «شَهْرَا عِيدٍ لَا يَنْقُصَانِ : رَمَضَانُ وَذُو الْحِجَّةِ»….

فَفِي هَذَا الْحَدِيثِ : أَنَّ هَذَيْنِ الشَّهْرَيْنِ لَا يَنْقُصَانِ ؛ فَتَكَلَّمَ النَّاسُ فِي مَعْنَى ذَلِكَ:

فَقَالَ قَوْمٌ: لَا يَنْقُصَانِ ، أَيْ :لَا يَجْتَمِعُ نُقْصَانُهُمَا فِي عَامٍ وَاحِدٍ، وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَنْقُصَ أَحَدُهُمَا.

وَهَذَا قَوْلٌ قَدْ دَفَعَهُ الْعِيَانُ ؛ لِأَنَّا قَدْ وَجَدْنَاهُمَا يَنْقُصَانِ فِي أَعْوَامٍ ،

وَقَدْ يُجْمَعُ ذَلِكَ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا.

فَدَفَعَ ذَلِكَ قَوْمٌ بِهَذَا، وَبِحَدِيثِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-… أَنَّهُ قَالَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ: «صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ» ، وَبِقَوْلِهِ: «إِنَّ الشَّهْرَ قَدْ يَكُونُ تِسْعًا وَعِشْرِينَ , وَقَدْ يَكُونُ ثَلَاثِينَ» .

فَأَخْبَرَ أَنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ فِي كُلِّ شَهْرٍ مِنَ الشُّهُورِ.

وَذَهَبَ آخَرُونَ إِلَى تَصْحِيحِ هَذِهِ الْآثَارِ كُلِّهَا ، وَقَالُوا:

أَمَّا قَوْلُهُ: «صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ»؛ فَإِنَّ الشَّهْرَ قَدْ يَكُونُ تِسْعًا وَعِشْرِينَ , وَقَدْ يَكُونُ ثَلَاثِينَ , فَذَلِكَ كُلُّهُ كَمَا قَالَ , وَهُوَ مَوْجُودٌ فِي الشُّهُورِ كُلِّهَا.

وَأَمَّا قَوْلُهُ: «شَهْرَا عِيدٍ لَا يَنْقُصَانِ : رَمَضَانُ ،وَذُو الْحِجَّةِ»؛ فَلَيْسَ ذَلِكَ-عِنْدَنَا- عَلَى نُقْصَانِ الْعَدَدِ ، وَلَكِنَّهُمَا فِيهِمَا مَا لَيْسَ فِي غَيْرِهِمَا مِنَ الشُّهُورِ؛ فِي أَحَدِهِمَا الصِّيَامُ ، وَفِي الْآخَرِ الْحَجُّ. فَأَخْبَرَهُمْ رَسُولُ اللهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أَنَّهُمَا لَا يَنْقُصَانِ وَإِنْ كَانَا تِسْعًا وَعِشْرِينَ ، وَهُمَا شَهْرَانِ كَامِلَانِ ، كَانَا (ثَلَاثِينَ =ثَلَاثِينَ)، أَوْ (تِسْعًا وَعِشْرِينَ= تِسْعًا وَعِشْرِينَ) ؛ لِيُعْلَمَ بِذَلِكَ أَنَّ الْأَحْكَامَ فِيهِمَا – وَإِنْ كَانَا (تِسْعًا وَعِشْرِينَ= تِسْعًا وَعِشْرِينَ) مُتَكَامِلَةٌ فِيهِمَا غَيْرُ نَاقِصَةٍ عَنْ حُكْمِهَا إِذَا كَانَا (ثَلَاثِينَ= ثَلَاثِينَ).

فَهَذَا وَجْهُ تَصْحِيحِ هَذِهِ الْآثَارِ الَّتِي ذَكَرْنَاهَا فِي هَذَا الْبَابِ .

وَاللهُ أَعْلَمُ»

 

Dan Imam ath-Thahawi –rahimahullah– juga berkata di kitab Syarh Ma’ani al-Atsar:

Bab makna ucapan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dua bulan hari raya yang keduanya tidak berkurang, yaitu Ramadhan dan Dzulhijjah.”

Maka di dalam hadits ini, bahwasanya kedua bulan tersebut tidaklah berkurang, lalu manusia membicarakan pengertian dari hadits tersebut. Sebagian orang berpendapat, “Keduanya tidak berkurang, yakni kekurangan jumlah hari kedua bulan tersebut tak akan terjadi secara bersamaan dalam satu tahun yang sama, hanya salah satu dari kedua bulan itu sajalah yang berkurang jumlah harinya.” Akan tetapi pendapat ini ditolak oleh kenyataan yang terjadi karena sungguh kami mendapati kedua bulan tersebut berkurang bilangan harinya pada banyak tahun, bahkan kurangnya bilangan hari itu terjadi pada kedua bulan itu secara bersamaan di tahun yang sama. Oleh karena itu, pendapat tersebut ditolak oleh kenyataan tersebut dan oleh hadits Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– yang berkata mengenai bulan Ramadhan, Shaumlah kalian lantaran melihat hilal dan berbukalah kalian lantaran melihatnya. Apabila ia terhalangi awan atas kalian, maka genapkanlah menjadi tiga puluh hari!” Juga oleh ucapan beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya satu bulan itu terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang pula tiga puluh hari.” Maka melalui ucapan ini, beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengabarkan bahwa kedua jumlah bilangan hari itu bisa terjadi pada seluruh bulan. Dan sebagian kelompok ulama berpendapat mengenai kesahihan seluruh atsar-atsar tersebut seraya mengatakan, “Adapau ucapan beliau: bershaumlah kalian lantaran melihat hilal dan berbukalah kalian lantaran melihatnya pula,” karena sesungguhnya jumlah hari dalam satu bulan itu terkadang memang dua puluh sembilan hari dan terkadang tiga puluh hari. Maka demikianlah seluruhnya sebagaimana yang beliau katakan, dan itu nyata terjadi pada seluruh bulan …

Adapun ucapan beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dua bulan hari raya yang keduanya tidak berkurang, yaitu Ramadhan dan Dzulhijjah,” maka menurut kami, bukanlah maksudnya (penafian atas) berkurangnya jumlah bilangan hari-harinya. Akan tetapi maksudnya adalah bahwa di dalam kedua bulan hari raya itu terdapat hal yang tidak ditemukan pada bulan-bulan selain keduanya, yaitu ada kewajiban shaum pada salah satunya (yakni pada bulan Ramadhan), dan pada bulan yang satu lagi terdapat kewajiban haji (yakni pada bulan Dzulhijjah), lalu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengabarkan kepada para shahabat bahwa keutamaan kedua bulan hari raya itu tidaklah berkurang meskipun jumlah hari pada masing-masingnya hanya dua puluh sembilan hari saja, bahkan kedua bulan hari raya itu tetap saja merupakan bulan yang sempurna, baik berjumlah tiga puluh hari maupun dua puluh sembilan hari, agar diketahui melalui sabdanya itu bahwa hukum-hukum syariat di dalam kedua bulan hari raya tersebut meskipun keduanya hanya berjumlah dua puluh sembilan hari tetaplah sempurna tanpa berkurang dari keadaan keduanya ketika berjumlah tiga puluh hari. Maka inilah penempatan makna yang benar dari atsar-atsar yang kami telah sebutkan pada bab ini, wallahu a’lamu … –SELESAI

 

Bandung, 25 Juli 2016

–HENDRA WIBAWA IBN TATO WANGSA WIDJAJA–

Mereka Bilang, Bilal –radhiyallahu ‘anhu- pun Mengada-Adakan Bid’ah …

Untitled-

Sebagian orang ada yang berpikir –keliru- dengan mengatakan bahwa Bilal –radhiyallahu ‘anhu– telah mengada-adakan suatu perbuatan bid’ah yang kemudian (perbuatan bid’ahnya itu) disetujui dan ditetapkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– sebagai suatu amal perbuatan yang baik. Bid’ah yang dilakukan oleh Bilal (dan disetujui oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– itu) adalah shalat sunah dua rakaat setiap kali selesai wudu (dikenal dengan sebutan shalat syukrul wudu). Menurut mereka, perbuatan Bilal tersebut menunjukkan bahwa bid’ah itu tidaklah selalu dhalalah (buruk), tetapi adakalanya malah hasanah (baik). Mereka berdalil dengan hadits berikut ini:

 

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ نَصْرٍ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ أَبِي حَيَّانَ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالٍ عِنْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ يَا بِلَالُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الْإِسْلَامِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُورًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ –صحيح البخاري

 Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bertanya kepada Bilal pada waktu shalat subuh, “Wahai Bilal, kabarkan kepadaku tentang amal yang paling kauharapkan (pahalanya) yang telah kau kerjakan di dalam Islam, karena sesungguhnya aku mendengar (dalam mimpiku tadi malam) suara ketukan kedua sandalmu di depanku di dalam surga.” Bilal menjawab, “Tidaklah aku mengerjakan suatu amal yang lebih kuharapkan pahalanya selain bahwa setiap kali aku telah berwudu, baik pada malam hari atau pada siang hari, maka aku pun melaksanakan shalat dengan wuduku itu sesuai yang dituliskan bagiku untuk kulakukan.” (HR. al-Bukhari)

 

Kata mereka, hadits ini menunjukkan bahwa Bilal telah mengada-adakan suatu amal yang baru (bid’ah), yaitu melakukan shalat sunah selepas wudu padahal tidak ada petunjuk dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengenai perbuatan tersebut sebelumnya. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– sendiri baru mengetahui amalan tersebut setelah beliau bertanya kepada Bilal. Ini menunjukkan bahwa Bilal telah mengada-adakan suatu amal (bid’ah), sementara Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– sama sekali tak mengingkarinya. Dengan demikian, bid’ah itu tak selamanya dhalalah, tetapi ada juga yang hasanah. Terbukti hasanah karena Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun menyetujui perbuatan bid’ah yang dilakukan oleh Bilal.

 

Sanggahan:

Benarkah demikian? Apakah Bilal –radhiyallahu ‘anhu– memang mengada-adakan bid’ah dengan melakukan shalat sunah dua rakaat setelah wudu? Apakah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– lantas menetapkan taqrir (menyetujui) perbuatan bid’ah yang dilakukan oleh Bilal tersebut?

Tidak, sama sekali tidak seperti yang mereka katakan …

(1) Apakah Bilal –radhiyallahu ‘anhu– memang mengada-adakan bid’ah dengan melakukan shalat sunah dua rakaat setelah wudu? Tidak. Bilal –radhiyallahu ‘anhu– sama sekali tidak mengada-adakan bid’ah shalat sunah selepas wudu. Hal itu dikarenakan bab shalat mutlak itu luas dan terbuka lebar, kapan saja boleh dilakukan selama berada di luar waktu-waktu yang terlarang. Selain itu, syariat shalat selepas wudu itu secara khusus telah disebutkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– sebagaimana dalam hadits dari shahabat ‘Utsman bin ‘Affan –radhiyallahu ‘anhu– berikut:

حدّثني أَبُو الطّاهِرِ أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ عَبْدِ اللّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ سَرْحٍ، وَ حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَىَ التّجِيبِيّ. قَالاَ: أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ أَنّ عَطَاءَ بْنَ يَزِيدَ اللّيْثِيّ أَخْبَرَهُ أَنّ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ أَخْبَرَهُ أَنّ عُثْمَانَ بْنَ عَفّانَ رَضِي اللّهُ عنه دَعَا بوَضُوءٍ. فَتَوَضّأَ. فَغَسَلَ كَفّيْهِ ثَلاَثَ مَرّاتٍ. ثُمّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ. ثُمّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثَ مَرّاتٍ. ثُمّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلاَثَ مَرّاتٍ. ثُمّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ. ثُمّ مَسَحَ رَأْسَهُ. ثُمّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلاَثَ مَرّاتٍ. ثُمّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ. ثُمّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم تَوَضّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا. ثُمّ قَالَ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم: مَنْ تَوَضّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا، ثُمّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ، لاَ يُحَدّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدّمَ مِنْ ذَنْبِهِ –صحيح البخاري

‘Utsman –radhiyallahu ‘anhu– berkata:

Aku melihat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berwudu sebagaimana wudu yang kulakukan ini. Kemudian Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda, “Barangsiapa yang berwudu seperti wuduku ini, kemudian dia shalat sebanyak dua rakaat tanpa membiarkan pikiran jiwanya melayang-layang dalam shalatnya, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. al-Bukhari)

 

Ibn Hajar al-Asqalani berkata di dalam Fath al-Bari:

 قوله: (ثم صلى ركعتين) فيه استحباب صلاة ركعتين عقب الوضوء

Ucapan beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… kemudian dia shalat sebanyak dua rakaat,” di dalamnya terkandung anjuran untuk shalat dua rakaat selepas wudu.

 

Dengan demikian, shalat selepas wudu itu bukanlah bid’ah yang diada-adakan oleh Bilal –radhiyallahu ‘anhu, melainkan Sunnah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam

 

(2) Apakah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– lantas menetapkan taqrir (menyetujui) perbuatan bid’ah yang dilakukan oleh Bilal tersebut? Tidak. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– hanya bertanya tentang amal perbuatan yang dilakukan oleh Bilal yang dengan perbuatan tersebut Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– mendengar suara langkah kaki Bilal (yaitu suara sandalnya) di dalam surga. Kemudian Bilal menjawab bahwa dirinya melakukan suatu amal berupa shalat setelah wudu. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tidak mengingkari amalan Bilal tersebut karena memang amalan tersebut pada hakikatnya telah tertera di dalam Sunnah beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam

 

Faidah: Shalat sunnah selepas wudu (atau yang dikenal dengan sebutan shalat syukrul wudu) itu merupakan amalan yang diambil dari Sunnah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dan memiliki ganjaran yang sangat besar berupa dihapuskannya dosa-dosa yang telah dilakukan …

 

Wallahu a’lamu …

 

Bandung, 16 Februari 2016

–HENDRA WIBAWA IBN TATO WANGSA WIDJAJA–